Meluruskan Niat
Kata orang, hasil akhir dari semua tindakan itu berakar pada niat awalnya. Niat, kata yang berasal dari bahasa Arab Niyyatu artinya berkehendak, mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Saya dulu tidak terlalu ambil pusing dengan kata-kata itu. Bagi saya niat tidak terlalu penting. Hidup cukup dijalani saja apa adanya. Tetapi semenjak saya mulai memasuki dunia kerja, saya benar-benar merasakan, mengalami, dan menyaksikan sendiri bahwa semua hasil dari tindakan benar-benar tergantung pada niatnya.
Akhir-akhir ini saya mulai merasa
risih ketika mendengar ada orang tua yang ketika akan berangkat bekerja
berpamitan kepada anaknya yang masih kecil dengan berkata, “Ayah pergi bekerja
dulu ya? Kalo ayah bekerja nanti ayah dapat uang untuk membelikan susu adik”.
Ya, seringkali orang tua memberikan penjelasan kepada anaknya bahwa mereka
bekerja agar mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apa itu
salah? Tidak. Tentu saja tidak. Karena pada kenyataannya memang kita baru bisa
memenuhi kebutuhan sehari-hari ketika bekerja. Hanya saja, apa benar
satu-satunya tujuan dan tujuan utama kita bekerja hanya sekedar untuk
mendapatkan uang? Uang memang penting, tapi apa iya harus menjadi yang
terpenting?
Saya pikir, hal inilah yang
menjadi salah satu akar beberapa permasalahan di masyarakat. Termasuk di dalam
bidang yang sangat dekat dengan saya; keperawatan dan pendidikan. Banyak sekali
orang mengeluhkan tentang buruknya pelayanan keperawatan di beberapa rumah
sakit. Susternya galak, tidak pernah menyapa pasien, selalu memarahi pasien,
pelayananannya tidak menyenangkan. Beberapa hal yang sering dikeluhkan orang
tentang pelayanan di rumah sakit. Tadinya saya berpikir bahwa semua itu hanya
dikembalikan pada sifat dan karakter masing-masing perawat. Tapi ternyata bukan
sifat dan karakternya saja yang berpengaruh. Ternyata niat awal itu
berpengaruh.
Sewaktu saya masih mahasiswa
praktik, saya sering menghabiskan waktu dengan para perawat sambil mengerjakan
asuhan keperawatan pasien. Di tempat itu semua hal dibahas. Mulai dari kondisi
pasien, sifat pasien yang menyebalkan, harga kebutuhan pokok, harga BBM, dan
betapa sulitnya hidup mereka karena bergaji kecil. “Gaji sedikit, kerjaan
banyak, capek!”. Keluhan seperti itu yang sering terdengar. Yah, lagi-lagi
pangkal masalahnya adalah uang.
Pernah juga saya mengobrolkan
tentang aksi damai untuk mendukung pengesahan RUU keperawatan. Yah, saya memang
tidak bisa memaksakan semua orang untuk sejalan dengan kita, tapi jika
mengingat betapa pentingnya RUU ini, saya berharap semua perawat bisa ikut
ambil bagian dalam usaha untuk mendorong pengesahannya. Hari itu saya lumayan
kaget juga dengan pendapat salah satu perawat tentang aksi damai tersebut.
Katanya hal-hal seperti itu tidak ada gunanya, tidak penting dan hanya
membuang-buang waktu. Menurutnya, hidupnya sudah enak, sudah PNS, mendapatkan
gaji, dan nanti saat sudah tua mendapatkan uang pensiun. Jadi tidak perlu lagi
mempermasalahkan tentang RUU yang tidak juga disahkan oleh para pemimpin di
Jakarta sana. Yah, lagi-lagi pangkal masalahnya adalah uang.
Lebih menyedihkan lagi, ternyata
semuanya sudah berakar dari sejak dimulainya pendidikan. Kebetulan saya
mengajar mata kuliah Konsep Dasar Keperawatan. Kebiasaan saya, di tatap muka
pertama, saat menjelaskan konsep dasar, pertanyaan pertama yang saya lemparkan
adalah,”Apa tujuan teman-teman bersekolah di keperawatan?”. Setiap tahun
jawaban yang saya terima rata-rata sama. Sebagian kecil dari mereka bersekolah
di keperawatan karena memang ingin menjadi perawat dan merawat pasien. Sebagian
lainnya mengatakan masuk ke jurusan keperawatan karena mereka hanya asal
mendaftar dan kebetulan diterima. Sisanya, yang adalah justru sebagian besar
dari mereka, menjawab karena tuntutan orang tua. Mereka bilang sekolah
keperawatan itu cepat dan begitu lulus cepat mendapatkan pekerjaan. Yah,
lagi-lagi karena uang.
Sama halnya dalam bidang pendidikan. Ketika tujuan dan
motivasi utama seorang tenaga pendidik adalah uang, apakah mungkin hasil
kerjanya bisa semaksimal mereka yang memang memiliki motivasi mendidik? Saya
rasa tidak. Sering sekali saya menemui teman yang dengan malas-malasan mengajar
dengan alasan dirinya tidak mendapatkan honor mengajar. Padahal pemerintah
sudah mengganti honor mengajarnya dengan honor sertifikasi dosen. Sering juga
teman mempertanyakan tentang betapa seringnya saya turun membimbing ke rumah
sakit padahal sudah tidak ada lagi honor untuk membimbing klinik. Setiap kali
ditanya seperti itu, saya seringnya hanya diam. Malas menanggapi pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban.
Sedih sebenarnya mendapati kenyataan seperti itu. Tapi saya
juga belum tahu mau berbuat apa. Hal terbaik yang dapat saya lakukan sekarang
hanyalah berusaha memperbaiki diri saya sendiri dulu saja. Karena akan sangat
lucu ketika saya mengritik orang lain, menunjukkan mereka bagaimana seharusnya
bersikap, tapi pada kenyataannya saya justru lebih buruk dari mereka. Saya
ingin meluruskan niat saya dulu saja. Niat saya adalah ingin mendidik,
mengajar, mentransferkan ilmu. Bukan hanya ilmu keperawatan, tetapi juga ilmu
kehidupan. Niat itu juga yang ingin saya tularkan kepada anak-anak saya,
anak-anak didik saya.
“Nak, ayah bekerja dulu ya? Ayah harus bekerja karena ada
orang lain yang harus dirawat. Mereka, saudara kita yang sedang sakit.”
“Nak, mama mengajar dulu ya? Supaya teman-temanmu menjadi
generasi yang cerdas.”
Semoga suatu hari nanti, pesan-pesan itulah yang anak-anak
didik saya sampaikan kepada anak mereka ketika mereka berangkat bekerja, bukan
lagi untuk mencari uang. Tetapi untuk merawat dan mencari ridho Alloh. Semoga.
InshaAllah. J
Gambar didapatkan dari www.flickr.com
Komentar