Hidup dari Jendela Bus


 
Saya ini bukan orang yang anti dengan kendaraan umum. Mengingat segi kepraktisan, keasyikan, dan kebebasan rute, saya lebih sering naik kendaraan pribadi (baca: motor). Saya lebih suka naik motor kemana-mana. Capek itu nomor dua, yang penting saya yang pegang kendali mau lewat mana. Tapi awal minggu kemarin saya akhirnya menggunakan fasilitas kendaraan umum juga sewaktu ke Jogja karena di rumah sedang tidak ada motor yang bisa saya culik.

Setelah sekian tahun tidak pernah naik bus, saya lupa jika ternyata naik bus bisa begitu nyaman dan santai. Saya juga lupa betapa ramainya bus umum oleh suara penjual koran, buku, makanan dan minuman, barang-barang laon yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu, dan tentunya pengamen. Di atas itu semua, saya baru menyadari bahwa ketika saya naik bus, saya bisa menikmati pemandangan yang luar biasa bermacam melalui jendela bus yang lumayan lebar, termasuk memandangi langit yang siang itu cerah.

Saya ini bukan orang yang mudah membuka percakapan. Makanya selama apapun ada orang yang duduk di sebelah saya, jika bukan dia yang memulai percakapan, maka tidak akan ada percakapan sampai saat kami berpisah. Sama seperti perjalanan ke Jogja kemarin itu. Saya lebih memilih menyumpal telinga saya dengan earphone dan memandangi apapun yang bisa saya pandangi lewat jendela di sebelah saya. Kebiasaan buruk sebenarnya. Tapi mau bagaimana? Kapasitas otak saya sepertinya memang hanya sebatas ini, tidak pernah mampu menemukan apapun untuk dikatakan apalagi berbasa-basi. Jadi jika selama ini ada yang tidak saya ajak mengobrol atau malah pernah mengobrol dengan saya dan merasa saya terlalu berterus terang, mohon dimaklumi ya? :)

Berada di dalam bus dengan posisi yang lebih tinggi daripada kendaraan lain di luar, membuat saya bisa melihat lebih banyak hal. Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Salah satunya adalah bahwa, selebar apapun jendela di sebelah kita, kita hanya akan bisa melihat salah satu sisi jalan. Jika kita memaksakan untuk melihat pemandangan melalui jendela yang ada di seberang tempat kita duduk, kita akan kehilangan kesempatan melihat pemandangan di jendela kita sendiri. Seperti hidup, tidak semua hal yang kita inginkan dapat kita memiliki.

Saya sudah suka menulis sejak SMP. Waktu itu saya pikir, agar saya tetap bisa menulis dan mendapatkan ilmu lebih untuk menulis, maka saya haru melanjutkan kuliah di jurusan Sastra. Saking kepinginnya saya masuk sastra, saya bahkan sampai berusaha keras mengumpulkan massa untuk dapat memenuhi syarat dibukanya kelas jurusan Bahasa di sekolah saya waktu itu. Tapi, pada akhirnya, entah karena apa, kelas Bahasa tidak jadi dibuka dan saya dimasukkan di kelas IPA. Ketika lulus, saya masih bersemangat untuk masuk kuliah di jurusan Sastra. Tapi di dalam rapat keluarga, ibu saya menanyakan; "Masuk jurusan sastra itu mau jadi apa? Kenapa nggak kedokteran saja?". Dan semangat saya surut di sana. Akhirnya saya menurut saja kata orang tua. Saya mendaftar di jurusan Kedokteran namun gagal dan sesuai anjuran orang tua juga, saya akhirnya masuk ke jurusan Keperawatan.

Saya sudah memilih untuk mengikuti kata orang tua. Tapi, waktu itu tetap saja ada penyesalan. Saya menyesal mengapa saya tidak memperjuangkan cita-cita saya. Saya menyesal mengapa saya hanya bisa menurut. Saya menyesal mengapa sewaktu mengisi pilihan jurusan saat pendaftaran SPMB, saya tidak nekat saja mengisi salah satunya dengan jurusan Sastra. Dan entah ada berapa banyak lagi penyesalan dengan apa yang sudah saya putuskan. Saya juga kesal mengapa Allah tidak mengabulkan doa saya yang begitu sederhana itu; masuk jurusan Sastra dan menjadi penulis.

Hal yang membuat berhenti menyesal adalah ketika saya masuk semester lima. Kakak tingkat saya, entah dia tahu dari mana, meminta saya menyetorkan cerpen ke panitia Pekan Olah Raga dan Seni Mahasiswa di universitas. Alhamdulillah waktu itu saya mendapatkan juara I dan ketika kemudian saya diminta mewakili universitas untuk tangkai lomba yang sama hingga ke tingkat nasional, saya mendapatkan juara II. Sewaktu pengumuman lomba itu, salah seorang dosen jurusan Sastra dari universitas lain yang kebetulan saya temui memberikan selamat kepada saya dan dengan wajah takjub mengatakan, "Wah, hebat, ya? Anak keperawatan tapi pinter nulis". Itu adalah momen di mana saya sadar bahwa Allah bukan tidak mengabulkan keinginan saya, Allah memberikannya dengan cara-Nya dan cara Allah itu selalu indah. Benar-benar indah karena setelah itu saya menjadi langganan dihubungi oleh pihak rektorat jika ada lomba penulisan cerpen dan beasiswa prestasi mulai mendatangi saya.

Saya mulai belajar bahwa hidup ini benar-benar seperti melihat melalui jendela bus. Saya harus memilih, pemandangan di sebelah mana yang harus saya lihat dan setelah memilih, saya harus belajar menerima kehilangan pemandangan yang sebenarnya juga ingin saya lihat tetapi tidak bisa saya dapatkan. Saya belajar bahwa karena tidak semua hal bisa saya lihat, saya tidak bisa terburu-buru memberikan penilaian, apalagi berburuk sangka. Yah, pada akhirnya saya yakin bahwa jalan hidup manusia itu sudah ditetapkan dan ketetapan Allah itu tidak pernah salah. Saya belajar bahwa jalan saya memang harus seperti ini. Seberapa banyakpun penyesalan saya dan walaupun seandainya saya bisa kembali ke waktu itu, jalan saya pastinya akan tetap seperti ini. Saya belajar untuk tidak menyesali setiap keputusan yang saya ambil, belajar yakin, belajar ikhlas, belajar sabar. InshaAllah. :)

Komentar

Unknown mengatakan…
Jakarta,solo atau tetap di ternate
Langit Senja mengatakan…
atau resign? InshaAlloh secepatnya ada kejelasan. :)

Postingan populer dari blog ini

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil