Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2013

Korupsi

Sejak mobil yang kami tumpangi memasuki kawasan perumahan elit, budhe -yang duduk di kursi belakang- tidak berhenti berkomentar. “Rumah kok gedhenya minta ampun. Pasti ini rumah-rumah para koruptor. Pasti dibangun pake duit hasil korupsi.” Biasanya aku akan menjawab komentar yang hanya berdasarkan asumsi. Tapi kali ini tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, entah karena kecapean setelah perjalanan jauh demi liburan di kota besar ini atau memang sedang malas bicara. “Mereka itu buta kali ya? Mereka nggak melihat rakyatnya pada kelaparan, kena gizi buruk, nggak bisa sekolah, nggak bisa berobat kalo sakit gara-gara nggak punya duit. Tega-teganya mereka korupsi dan bangun istananya." Aku melirik Mas Aji, anak budhe, yang memegang setir di sebelahku. Dia balas menatapku dan tersenyum. Sebelah tangannya mengacak rambutku kemudian. “Ngantuk?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tidur aja. Nanti kalo sudah sampai aku bangunin.” Aku menurut, menutup mata, mencoba untuk

Sombong

Kedua kakiku sebenarnya sudah lelah. Tapi kalau aku berhenti mengayuh pedal sepedaku, kesempatanku untuk meneguk air yang segar dan mengganti cairan tubuhku yang hilang lewat keringat akan semakin tertunda. Artinya, ginjalku harus bekerja lebih keras. PRIIIIIITT!!! Sebuah kombinasi antara suara peluit yang amat keras dan wajah garang menghadangku setelah aku berbelok di pertigaan. Dengan terpaksa aku menghentikan sepedaku. “Heh, ini jalan satu arah, tau?! Nggak liat di ujung jalan tadi ada tanda dilarang masuk?” tanya polisi itu dengan galak sambil menunjuk tanda lalu lintas bundar berwarna merah dengan garis putih di tengah yang berdiri tegak di ujung jalan yang tadi aku lewati. Yah, aku sebenarnya tahu kalau ini jalan searah yang lumayan macet. Tapi ini juga rute terpendek ke rumahku. Kalau mengikuti aturan, aku harus berputar, mengitari alun-alun dan pasar, sehingga waktu tempuhku bertambah kira-kira sepuluh menit. Dengan suhu siang ini yang sangat panas dan rasa lelah di b

Padi dan Kapas Bukan Sekedar Lambang Kemakmuran

Gambar
  Padi dan Kapas. Hal yang pertama kali muncul di kepala saya setiap kali mendengar dua kata ini disandingkan adalah Sila ke lima Pancasila. Pastilah, karena memang lambang dari sila ke lima dasar negara kita adalah padi dan kapas. Padi melambangkan kemakmuran pangan dan kapas melambangkan kemakmuran sandang. Makanan dan pakaian. Tapi, belakangan, saya baru tahu jika ternyata dua hal ini tidak hanya bisa melambangkan pangan dan sandang. Beberapa hari yang lalu saya menginap di rumah Paklik. Selesai tarawih, kami mengobrol lumayan lama. Awalnya Paklik hanya menanyakan tentang bagaimana kabar saya. Maklum, saya ini termasuk ponakan yang jarang bersilaturahim. Jadi walaupun tinggal di satu kota, jarang sekali bertukar kabar sama Paklik. Setelah bertanya-tanya kabar, mengobrol ke sana ke mari, tiba-tiba kami sudah sampai pada obrolan tentang hidup. “Ya, harusnya manusia itu hidup seperti ilmu padi. Karena negeri akhirat itu dijadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombo

Horizontal Point of View

Aku menoleh dan lagi-lagi menemukan Rifa menelengkan kepalanya ke kanan dengan kedua mata menatap ke kejauhan. Rifa adalah teman pertama yang aku miliki sejak aku menjejakkan kaki di kota besar ini, tempat dimana kami sama-sama terdampar demi mencari sesuap nasi, jauh dari kota tempat kami dilahirkan dan tumbuh. Aku menyukainya. Dia cewek yang selalu ceria. Dia seperti matahari, penuh kehangatan dan selalu berusaha menyebarkan kehangatannya kepada setiap orang yang ada di sekitarnya. Hanya satu hal yang sampai sekarang, setelah empat bulan pertemuanku dengannya, belum bisa aku mengerti; kebiasaannya menelengkan kepala dengan tatapan mata yang seolah menerawang jauh. Dan yang paling aneh dari semua itu adalah semburat ketakjuban yang selalu nampak di wajahnya setiap kali dia melakukan hal itu. Aku sering menemukan dia melakukan hal itu; sewaktu kami menikmati makan siang kami di balkon kantor, menikmati sore kami sambil menyusuri jalan pulang, dan yang paling sering adalah ketika se

In A Rush

Gambar
It came over me in a rush… when I realized that I love you so much… Tiba-tiba malam ini lagu In A Rush-nya Blackstreet berputar-putar di dalam kepala saya. Pasti saya dikira sedang jatuh cinta. Tidak. Saya tidak sedang jatuh cinta. Yang sebenarnya membuat lagu ini terus berputar di dalam kepala saya juga bukan isi dari lagunya sendiri, tapi lebih pada judul lagunya; In A Rush. In A Rush. Mengingatkan saya betapa manusia selalu tergesa-gesa. Sejak awal penciptaannya, manusia telah diberikan watak tergesa-gesa. Saya sudah tahu tentang hal itu. Tapi semalam saya kembali merasa diperingatkan ketika saya membaca postingan lama saya di blog ini. Ya, manusia itu memang benar-benar tergesa-gesa hampir di semua hal, termasuk dalam memberikan penilaian. Dalam postingan saya “Tanya Kenapa?”, saya mempertanyakan begitu banyak hal yang waktu itu memang benar-benar membuat saya kesal. Tapi, setelah saya baca lagi sekarang, saya tersenyum miris. Saya waktu itu terlalu tergesa-gesa

Zodiakmu Karaktermu?

Gambar
Hari Jumat pagi saya sudah kena sindir di twitter. @DimasMuharam: Kamu yg retwit2 ramalan bintang, krn merasa zodiakmu memang cocok dgn karaktermu, atau jangan2 kata2 ramalan yang membentukmu? @DimasMuharam: Betulkah ramalan tahu ttg karaktermu via zodiak, atau hanya kamu yg tersugesti ramalan berdasar tgl lahir? #ZodiakFacts Hahaha. Ya, saya memang suka meretwit twit-twit zodiac. Awalnya hanya karena iseng dan merasa ada beberapa twit itu yang memang cocok dengan karakter saya. Tapi setelah ‘disindir’ itu, saya jadi berpikir ulang. Benarkah selama ini saya merasa cocok dengan apa yang ditulis di sana atau secara alam bawah sadar, saya justru dikontrol untuk memiliki karakter seperti itu? Hmm, biar saya renungkan sejenak. Well, Zodiac berasal dari kata Zoodiacos Cyclos (Yunani) yang berarti Lingkaran Hewan. Zodiac adalah sabuk khayal di langit yang berpusat pada lingkaran ekliptika atau bisa juga merupakan rasi-rasi bintang yang dilewati oleh sabuk tersebut. Zodiac seseora