Horizontal Point of View

Aku menoleh dan lagi-lagi menemukan Rifa menelengkan kepalanya ke kanan dengan kedua mata menatap ke kejauhan.

Rifa adalah teman pertama yang aku miliki sejak aku menjejakkan kaki di kota besar ini, tempat dimana kami sama-sama terdampar demi mencari sesuap nasi, jauh dari kota tempat kami dilahirkan dan tumbuh. Aku menyukainya. Dia cewek yang selalu ceria. Dia seperti matahari, penuh kehangatan dan selalu berusaha menyebarkan kehangatannya kepada setiap orang yang ada di sekitarnya. Hanya satu hal yang sampai sekarang, setelah empat bulan pertemuanku dengannya, belum bisa aku mengerti; kebiasaannya menelengkan kepala dengan tatapan mata yang seolah menerawang jauh. Dan yang paling aneh dari semua itu adalah semburat ketakjuban yang selalu nampak di wajahnya setiap kali dia melakukan hal itu.

Aku sering menemukan dia melakukan hal itu; sewaktu kami menikmati makan siang kami di balkon kantor, menikmati sore kami sambil menyusuri jalan pulang, dan yang paling sering adalah ketika seperti sekarang ini, duduk di pinggir pantai, meluruskan kaki setelah jogging di Minggu pagi. Tapi, sebesar apapun rasa ingin tahuku, aku tidak pernah bertanya padanya. Baru sekarang, saat rasa penasaranku seolah memuncak, kata-kata itu meluncur juga dari mulutku.

“Ngapain sih, Fa?” tanyaku.

“Nggak pa-pa,” jawab cewek mungil itu sambil tersenyum dan kembali menegakkan kepalanya, seolah malu, tahu aku memperhatikan kebiasaan anehnya itu.

“Dasar aneh!” kataku.

Rifa tertawa kecil. Dia tidak membalas hinaanku.

Aku menghela napas.

“Kenapa, Feb?” tanya Rifa sambil menoleh padaku.

“Kenapa apanya?” tanyaku bingung.

“Kamu menghela napas...”

“Iya. Terus? Kenapa emang?”

“Helaan napas itu pertanda sebuah usaha untuk melegakan diri, berusaha membuang sesuatu, suatu beban..”

“Hahaha...” Aku tertawa garing. “Iyakah?” tanyaku, berusaha menyembunyikan beban yang memang berusaha aku buang, seperti katanya barusan.

“Kenapa?” Rifa kembali menuntut jawaban dariku.

“Terasa nggak sih kalo kita udah empat bulan di sini, Fa?” tanyaku

“Ya terasalah.” Dia tersenyum geli, mungkin karena pertanyaan bodohku.

“Duit gue udah menipis nih, Fa. Kira-kira gaji kita beneran keluar bulan depan nggak ya?” Beban itu akhirnya mulai membentuk kata-kata sedikit demi sedikit.

Rifa tersenyum dan angkat bahu.

“Nasib gue kok jelek banget sih. Udah terlempar ke sini, jauh dari keluarga, jauh dari orang-orang yang gue kenal, yang gue sayang, kerja sampe empat bulan gaji nggak turun, nasib prajabatan nggak jelas... “Aku menggantung ucapanku. Kedua mataku menatap laut yang membentang di hadapanku, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan jiwaku di sana. “Haaahh...” Aku menghela napas lagi.

Tidak ada sahutan dari Rifa setelah beberapa detik berlalu. Aku menoleh dan kembali menemukannya menelengkan kepala dan menatap jauh ke arah laut di hadapan kami.

“Aku juga suka laut, Fa. Tapi dengan kehidupan yang serba nggak jelas kayak gini, bahkan keindahan laut-pun lama-lama bisa berubah menjadi kebosanan,” ucapku.

Rifa lagi-lagi tidak berkomentar, membuatku sedikit kesal, merasa tidak ditanggapi olehnya.

“Elo tuh sebenernya ngapain sih suka neleng-nelengin kepala kayak gitu?” tanyaku, mulai kesal dengan tingkahnya.

Rifa tertawa kecil. “Selama ini kita selalu lihat laut dengan sudut pandang kepala vertikal kan, Feb. Coba deh sekali-kali lihat laut dengan pandangan horizontal kayak gini, laut nggak lagi membosankan,” katanya.

“Bodoh! Ogah, ah! Kayak anak kecil!”

“Mungkin itu juga sebabnya kenapa laut jadi nggak ngebosenin lagi, karena kita melihatnya dengan cara yang kekanak-kanakan, cara yang berbeda.” Rifa sekarang menelengkan kepalanya ke arah yang berlawanan dari sebelumnya.

Kali ini aku yang tidak menanggapi ucapannya, tetap saja melemparkan pandanganku secara vertikal, melihat laut yang benar-benar sudah membosankan setelah empat bulan berlalu dan tetap saja seperti itu.

“Kamu tau nggak sih, Feb, di luar sana ada orang-orang yang bahkan rela mengeluarkan duit ratusan juta demi jadi pegawe negeri kayak kita?” tanya Rifa tiba-tiba.

“Tau. Dan mereka itu orang bego! Mereka pikir jadi pegawe negeri itu enak? Udah empat bulan nggak dapet gaji, kerjaan numpuk-numpuk, bikin stres!”

“Kita ini jadi pegawe negri gratis loh, Feb. Kita lolos tanpa ngeluarin duit sepeserpun. Udah gitu, orang tua kita mampu buat ngeberangkatin kita sampai di sini.” Rifa lagi-lagi mengubah arah telengan kepalanya. “Kita bisa keluar dari tempat asal kita, bisa menikmati keindahan kota ini, ciptaan Alloh ini. Kita bisa membuktikan bahwa kita bukan lagi anak-anak yang hanya bisa bersembunyi di ketiak orang tuanya. Kita punya bekal cerita yang nanti bisa kita ceritain ke anak cucu kita....”

Aku menatap nggak ngerti ke arahnya. “Maksud kamu?” tanyaku.

“Bukannya kita harusnya bersyukur buat semua itu? Gaji kita yang empat bulan ini belum turun kan pasti akan turun, cuma belum. Nanti pasti turun kok, Feb. Sabar ya?”

Dadaku langsung bergetar. Astaghfirulloh... Ampuni aku ya Alloh.. Iya, dia benar. Seharusnya aku lebih bersyukur. Aku sudah sampai sejauh ini dengan begitu mudahnya dan yang aku lakukan hanyalah mengeluh dan meratapi keadaan.

“Kalo liat laut dengan cara ini, aku bisa liat beberapa bagian yang nggak bisa aku liat dengan pandangan vertikal. Lapang pandangnya berbeda, lebih banyak bagian langit yang bisa terlihat. Karena sudut pandangnya berbeda, makanya dia tetap cantik, nggak ngebosenin,” celoteh Rifa tanpa aku tanya. “Hidup juga kayak gitu, Feb. Kalo kita selalu melihat dari sudut pandang yang itu-itu saja, dia akan jadi ngebosenin. Apalagi kalo sudut pandang yang kita pakai hanya terpaku pada sesuatu yang nggak kita miliki, pada segala penderitaan, pada segala kekurangan.”

Ada senyuman pahit mengembang di wajahku. Iya. Dia benar lagi. Selama ini aku terlalu terpaku pada apa yang nggak aku miliki, pada segala penderitaanku, pada segala kekuranganku. Aku lupa, Alloh sudah memberiku banyak. Aku lupa, seharusnya aku bersyukur padaNya, bukan hanya terus meratap dan menuntut.

“Hidup ini buat dinikmati, Feb, bukan diratapi.”

“Iya, Fa. Makasih, ya?” ucapku sambil ikut menelengkan kepala di sisinya, menatap laut yang berpayung langit. Langit yang pagi ini biru bersemburat putih, begitu indah dan tiba-tiba tidak lagi membosankan. TAMAT (Ternate, 19 Juni 2011)

Komentar

Dimas Muharam mengatakan…
menarik mbak. sesuatu jika dilihat dari sudut pandang berbeda maka akan jadi berbeda pula. padahal objeknya sama. btw, jadi inget kalo bulan depan udah mulai seleksi CPNS lagi.. tapi blm bisa ikut lagi tahun ini :(
Langit Senja mengatakan…
Terima kasih. :)

Rejeki orang udah diatur, dim. Ga bakal ketuker.

btw, stop calling me with "mbak", makes me feel so old. :(
Please call me "na". :)

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil