Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Pemerintah

Gambar
image source: pictaram.com "Ih, pemerintah ini pasti cuma mau cari untung saja." "Tak berat memangnya hidupmu?" "Maksudmu?" "Iya. Tak berat hidupmu? Setia hari hanya bersuudzon kepada pemerintahmu? Tak pening itu kepalamu? Tak berat itu hatimu? Memangnya sudah kau doakan pemerintahmu itu? Minta pada Tuhanmu untuk kebaikannya?" "Untuk apa kudoakan mereka? Kurang kerjaan." "Lantas bagaimana bisa kamu berharap mereka menjadi baik jika kau doakan kebaikannya saja tak pernah?" Perempuan itu diam. Hanya melirik tak suka pada kawannya,. #Pemerintah

Aib

Gambar
Image source: pinterest "Aib," katanya. Kamu mengangkat wajah dengan kedua mata yang sembab, menatapnya. "Aib itu seharusnya ditutupi, bukan diumbar. Sedangkan Alloh saja menutupi aibmu. Mengapa kau ini dengan bodohnya suka sekali mengumbar aib sendiri." Kamu masih menatapnya. Kedua matamu masih saja sesembab sebelumnya. "Rumah tangga itu milik berdua. Kebaikanya adalah kebaikan untuk kedua orang yang menjalaninya. Aibnya adalah aib untuk keduanya. Masalah rumah tangga itu aib. Aib itu ditutupi, bukan diumbar." "Dia berselingkuh. Setelah semua yang aku berikan padanya, dia berselingkuh!" katamu dengan suara yang sarat rasa sakit hati. "Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan hanya sekedar menunjuk siapa yang salah." "Kau tak tahu rasanya." "Kau juga tak tahu apa yang orang lain pernah alami." "Bicara memang mudah. Berkomentar memang ringan." "Mengeluh juga mudah. Mencari kam

Ketika Kau Tak Paham

"Ketika kau tak paham,          kau hanya serupa daun di atas aliran sungai.          Diombang-ambingkan arus kesana kemari.          Tak punya kekuatan untuk melawan.          Tak punya dasar, tak punya pendirian. "Ketika kau tak paham,          kau akan mudah sekali mengatakan iya,          tak punya keberanian untuk bertanya. "Belajar.   Buat dirimu paham.   Agar tak lagi kau jadi daun di atas aliran sungai.   Agar kau punya kekuatan untuk bertahan.   Jadikan dirimu paham."

Gampang Itu...

Gambar
image source: sourceable.net "Ini biaya konsumsi kok hanya segini? Sedikit sekali ini. Seharusya biasa makan itu lima puluh ribu per orang." "Bu, rencana anggaran itu dibuat nyata. Harga makanan umumnya segitu sudah cukup." "Iya. Tapi kan dasarnya ada. Per orang itu lima puluh ribu." "Ya kan kalo pertanggungjawabannya ke negara memang kita harus menggunakan dasar itu. Tapi ini kan anggaran belanja kegiatan organisasi yang tidak diharuskan menggunakan dasar anggaran itu. Yang penting anggarannya nyata dan bisa dipertanggungjawabkan." "Alah, sudah. Masukkan saja lima puluh ribu rupiah. Nanti kalau tetap mau dibelikan yang harga dua puluh lima ribu rupiah ya tak apa," "Bu, nanti pertanggungjawabannya susah loh." "Halah.. Gampang. Kan tinggal kita minta dibuatkan nota terus dicap saja sama rumah makannya." "Pertanggungjawaban di akhirat nanti, maksudnya." "..........."

Mulut Masyarakat Kita

Gambar
image source: http://www.istockphoto.com/photos/gossip #1 SAKIT "Kau sudah dengar belum? Si X masuk rumah sakit, loh." "Oh ya? Sakit apa?" "Hepatitis katanya." "Dia sih rokoknya kenceng banget. Sering tuh aku lihat dia ngerokok. Kuat banget ngerokoknya." "Iya. Dia juga suka minum itu tuh.. apa namanya? Yang minuman ringan tuh.." "Iya. Nggak jaga pola makan sih. Makanya sakit gitu." Mulut masyarakat kita. Padahal menasehati saja tak pernah dia. Tapi begitu menghakimi, begitu pandainya. *** #2 LAJANG - MENIKAH Sewaktu lajang "Kapan sih dia itu mau nikah? Orang kok seneng amat melajang. Nanti keburu tua loh. Umurnya dia kan nggak akan berkurang, akan selalu bertambah." "Iya loh. Padahal kurang apa lagi, coba? Udah mapan, punya kerjaan bagus. Mau nunggu apa lagi sih?" "Pasti dia tuh suka pilih-pilih. Pasti udah punya daftar persyaratan calon suami, deh." Setelah m

Takut

Gambar
photo source: www.dailypedia.net/ Aku melangkah cepat keluar dari ruang ujian. Tak semua soal bisa kujawab dengan yakin benar. Tapi, ah memangnya siapa juga yang menuntutku untuk harus bisa menjawab semuanya. Tak ada. Jadi dengan lega aku mengelakan napas. "Tuh anak emang, deh." Dengan langkah dihentak-hentakkan dia menyusulku. "Siapa?" tanyaku seraya memasukkan alat tulis ke dalam tas lalu menjinjingnya. "Tuh!" katanya seraya menunjuk seorang gadis bergamis abu-abu yang baru saja keluar dari ruang ujian. "Kenapa memangnya?" "Pelit. Nggak mau ngasih tau jawaban. Pinter kok diambil sendiri, nggak mau bagi-bagi sama temennya." Aku sudah hampir berkomentar ketika tiba-tiba gadis bergamis abu-abu itu mendatangi kami. Ada senyuman ramah mengembang di wajahnya seperti biasa. Aku membalas senyumannya. Tapi aku tahu dia datang bukan untukku. "Ren, afwan ya?" katanya kepada gadis di sebelahku yang wajahnya masih ber

Satu Arah

Gambar
image source: https://www.strongtowns.org/journal/2016/8/24/which-is-better-one-way-or-two-way-streets "Jalan di depan situ sekarang dipasangin porboden. Jadi jalan searah sekarang. Ribet banget sih polisi ini. Kurang kerjaan kayaknya mereka itu. Bikin orang jadi ikut ribet. Bayangin dong. Sekarang kalo mau ke kantor aku harus muter dulu, lewat jalan yang di timur tuh. Muteeeer dulu agak jauh terus baru deh bisa sampe di jalan depan situ terus belok ke jalan depan kantor. Ribet deh pokoknya. Kalo dulu kan enak. Aku tinggal ambil jalan di situ bisa langsung belok aja ke jalan depan kantor." Panjang lebar hari itu. *** "Ternyata bukan cuman aku yang nganggep tuh porboden bikin ribet. Akhirnya kan pada ngelanggar juga. Akhirnya dicuekin tuh si Porboden. Hahaha.. Aku juga sih. Ngapain juga kudu muteeeer dulu baru bisa belok ke jalan ini kalo bisa nerobos aja. Toh nggak ada polisi juga. Beneran, deh. Tuh jalan nggak bisa dijadiin jalan searah. Bikin ribet orang!&