Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Sebuah Catatan di Bulan Mei

Gambar
Source: pinterest Maaf. Aku tak lupa. Tenang saja. Mana mungkin bisa kulupa,            sedangkan aku selalu            menyimpanmu di dalam sini            di dalam hati. Kau dan aku tahu, hati tak akan lupa. Maaf. Aku bukan tak ingat, aku tak butuh pengingat untuk hari ini. Aku hanya sengaja tak mengucapkan selamat. Kau dan aku tahu, selamat hanya sekedar kata. Bukan itu yang utama, tapi doa. Dan doaku untukmu,          aku memanjatkannya setiap waktu. Tak ada hari khusus, tanggal khusus yang harus kutunggu. Maaf. Aku tahu kau merasa kecewa. Sekarang. Tapi ini demi dirimu. Aku. Kita. Jika Rasul kita tak melakukannya,         aku juga tak ingin melakukannya. Aku sedang belajar mengikuti dia. Aku hanya ingin menjadi manusia yang lebih baik saja. Maaf. Aku tahu, untuk segala yang sudah kau berikan padaku, jika aku ingin menggantinya, tak akan cukup seluruh isi dunia. Jadi aku hanya akan berusaha menjadi anak yang berbakti,           memperbaiki

Dua Puluh Dua

Gambar
Pak... Ramadhan sudah datang lagi. Ini ke tujuh kalinya aku bertemu Ramadhan di sini, di kota ini. Aku mungkin terlihat sendiri. Tapi, tenang saja, Pak. Anak wedokmu ini tak takut karena aku tahu bahwa kita ini tak pernah benar-benar sendiri. Ada Alloh yang selalu membersamai. Iya, kan? Pak... Hari ini tanggal 1Ramadhan. Hari ini juga tanggal 27 Mei. Dua puluh dua tahun yang lalu, di tanggal ini bapak pulang. Tadi sebenarnya aku tak ingin menulis tentang hari ini, tapi ternyata di hampir tengah malam ini aku menuliskan ini. Aku harus menuliskan ini, rasa kangen ini. Yah, walaupun aku sudah lupa sebagian besar waktu kita bersama dulu. Maafkan anakmu ini ya, Pak. Aku tak pernah bermaksud melupakan bapak. Tak pernah. Tak akan pernah. Aku hanya tak ingin menjadikannya alasan untuk meratap. Aku tak ingin meratapi kepulanganmu pada-Nya, Pak. Itu kan yang bapak inginkan? Makanya ada banyak hal yang entah sengaja atau tidak, dilupakan oleh otak kecilku ini. Pertahanan diri yang seng

Ayah

Gambar
Bersyukurlah kamu, Dek. Ketika ayahmu yang adalah pencari nafkah dan tulang punggung keluarga, yang wajib bekerja keras untuk menghidupimu, masih berusaha keras menyediakan waktu untuk mendampingimu ketika kamu tampil di lomba atau membantumu belajar atau hanya sekedar menemanimu. Bersyukurlah kamu, Dek. Ketika laki-laki yang Allah ciptakan untuk menjadi ayahmu itu masih menegurmu ketika kamu melakukan kesalahan dan bukannya memanjakanmu dengan mengikuti setiap keinginanmu. Karena, agar kamu tahu, yang diinginkannya adalah surga bagimu. Bersyukurlah kamu, Dek. Ketika manusia yang sebenarnya berhati lembut dan penuh kasih sayang itu dengan suara kerasnya memarahimu ketika kamu tinggalkan shalatmu atau kamu umbar auratmu, atau kamu lakukan kemaksiatan yang mengancam akhiratmu. Ketahuilah, Dek. Yang dia inginkan hanya menyelamatkan akhiratmu dari api neraka. Itu saja. Jadi bersyukurlah, Dek. Jangan kau sia-siakan waktu yang masih kamu miliki dengannya.

Tentang Hujan dan Kebencian

Gambar
"Ayah, aku tak sanggup lagi!" teriakku di antara suara derasnya hujan. "Hujan ini terlalu deras. Udara terlalu dingin." "Tak apa, Nak. Ada ayah di sini." Lalu dedaunan itu membentuk pelindung di atas kepalaku, melindungiku dari serangan air hujan. Ah, aku tak suka hujan. Titik-titik airnya yang jatuh dengan deras seperti ini selalu menyakitiku. "Jangan begitu." Teguran itu terdengar halus, tapi tegas dan jelas. Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal gerimis. "Jangan membenci hujan," katanya seraya membuka pelindung yang dibuatnya di atas kepalaku. "Mengapa tak boleh? Tetes-tetes airnya menyakitiku, Ayah," keluhku. "Sebenci apa pun kita padanya, dia tak akan berubah. Dia akan seperti itu. Tetes-tetes airnya tetap akan menyakiti kita jika dia turun dengan deras. Kita tak akan bisa membuatnya berubah." Aku membuang muka, malas menatapi wajah ayah yang tak pernah kulihat digantungi amarah itu. "Jadi

Disiplin Dalam Secangkir Kopi

Gambar
Photo source: pinterest "Duduk dulu," kataku begitu kamu menghentikan langkah di depan meja pemesanan. Wajahmu dipenuhi rasa kesal. Kamu menghela napas. "Latte?" Aku menyunggingkan senyuman. Sudah hafal dengan pesananmu yang tak pernah berubah itu. Kamu mengangguk tanpa senyuman lalu melangkah ke meja kecil di pojok warung kopiku. Secangkir latte. Orang bilang, para peminum latte adalah manusia-manusia santai, yang tak suka diburu-buru. Mereka biasanya orang yang baik dan pecinta damai. Tapi ya itu, mereka terlalu santai dan suka mengulur waktu. Ah, entahlah. Itu kan kata orang saja. Aku meletakkan cangkir latte-mu ke atas baki lalu membawanya ke meja di hadapanmu. "Kenapa?" tanyaku. Aku tak pernah merasa sungkan menanyakan hal itu padamu. Aku sudah mengenalmu hampir di seluruh hidupku. Kita menghabiskan masa kecil bersama. Tak hanya masa itu, tapi juga masa-masa setelahnya hingga sekarang. "Biasalah. Mahasiswa," jawabmu sebel

Menunggu Hujan Reda

Gambar
image source: http://islamic-art-and-quotes.tumblr.com "Menunggu hujan reda?" Ada senyuman terulas di wajahnya. Dia menggeleng pelan. "Menjemput hujan. Menemani hujan turun," katanya. "Hmmm.." Aku mengangguk-anggukkan kepala pelan. "Menjemput hujan? Mengapa berdiri di sini saja jika memang benar kau menyambut hujan? Bukankah seharusnya kau ada di sana, 'menari' bersama titik-titiknya?" Aku membuat tanda kutip dengan tangan sewaktu mengatakan menari. Gadis itu tergelak. Dengan cepat dia menutup mulut dengan sebelah tangan, menjaga agar tawanya tak terlalu terdengar, menjaga kesopanan. "Inginku. Tapi kurasa tak perlu. Dia tahu aku menjemputnya, menyambutnya. Aku yakin dia tahu bahkan tanpa harus aku 'menari' di antara titik-titiknya." Dia ikut membuat tanda kutip dengan kedua tangannya ketika mengatakan menari. "Tahu? Bagaimana bisa dia tahu?" Bahunya terangkat. "Entahlah. Aku tahu saja bah

Mutasi

Gambar
"Aku dengar kamu mau mutasi ya?" "Iya." "Pindah ke mana?" "Pulang ke kampung halaman." "Tinggal sama orang tua lagi?" "Iya." "Wiih enak dong. Banyak uang kamu nanti pasti ya?" "Kok bisa?" "Ya kan tinggal sama orang tua. Kebutuhan udah pasti tercukupi kan? Udah ga perlu mikir beli makan, bayar listrik, bayar air, bayar telpon." "Ya semoga diberi banyak rejeki. Aamiin. Tapi nggak gitu juga. Kan aku udah kerja. Orang tua juga udah saatnya istirahat. Makanya aku mau pulang. Mau ganti ngurusin mereka. Mau berbakti. Mumpung masih ada waktu." Aku cepat-cepat meraih cangkir kopiku lalu meneguk isinya. Malu aku pada senyumanmu karena sudah berpikir seperti itu tentangmu.

Perubahan

Gambar
Photo source: @worddiction "Wah ini tidak bisa seperti ini. Harusnya itu begitu, seperti negara lain itu. Negara kita ini bla bla bla bla bla.. Seharusnya kan bla bla bla bla.. Negara ini butuh perubahan. Kita butuh perubahan yang lebih baik." "Iya. Sama dengan kampus tempat kuliah ini. Seharusnya bla bla bla bla.. Masak pendidikan kok seperti ini. Seharusnya mahasiswa itu diberikan bla bla bla.. Kita butuh perubahan." "Iya. Kita memang butuh perubahan. Keren rencana kalian. Jadi, kapan mau dieksekusi? Siapa yang akan memulai perubahannya?" Kemudian semua terdiam. #Perubahan

Move On

Gambar
"Move on", katamu. "Ke jalan yang lebih lurus, biar bisa menjadi manusia yang lebih baik. Pelan-pelan, nanti juga bisa. Asal ada usaha," katamu lagi. Aku memilih memandangi matahari yang sudah membuat langit memerah di luar jendela kereta api sana. "Berat, tak mudah, aku tahu. Apalagi mengingat seberapa besar kamu mencintai semua hal yang terlihat begitu menyenangkan itu. Tapi mereka hanya tentang dunia. Tak akan menyelamatkanmu di kehidupan ke dua kelak." Aku masih berdiam, enggan menanggapimu. Tak juga ingin menoleh dan memandangi wajahmu yang pasti dipenuhi senyuman kesukaanku itu. Aku tak suka setiap kali kamu membahas ini. "Ayolah. Apa tak sayang kau habiskan waktumu untuk mendengarkan semua itu? Yang jelas-jelas haram untukmu? Apa tak sayang kau habiskan uangmu untuk merayakan peringatan yang bahkan tak diajarkan oleh Nabimu? Apa tak sayang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tak akan membantumu ke tempat yang lebih baik di hidup

Debat

Gambar
Photo source: nasihatsahabat.com "Mampus!" Wanita itu meletakkan ponselnya ke atas meja, sedikit mendorongnya. Wajahnya dihiasi kepuasan luar biasa. "Kenapa?" tanya temannya. Dia menaikkan pandangan, meninggalkan layar ponsel yang tadi dipandanginya. "Itu tuh.. Si itu. Tahu, kan?" Dia menunjukkan wajah tahu sama tahu. "Ooh.. Kenapa lagi dia?" "Tak berani dia mendebatku ternyata. Sok menasehati soal agama. Kayak udah yang paling suci aja. Sok dekat dengan Tuhan." "Kenapa memangnya?" "Biasa tuh. Anak itu tuh. Komen di statusku. Sok ngajari gimana harus pake baju yang bener, yang syar'i. Jadi kuajak debat dia. Eeeh nggak komen-komen lagi dia. Penakut. Ternyata tak berani mendebatku." "Hati-hati." "Hati-hati?" Temannya mengangguk. "Semakin berisi, padi akan semakin menunduk, katanya. Sama dengan manusia. Semakin banyak ilmunya, biasanya justru semakin rendah hati, sema

Salah Fokus

Gambar
"Habis ini mau ke mana?" "Mau ke rumah sakit deket situ. Suaminya temenku opname. Mau nengokin gitu." "Ooh.." "Bawain apa ya enaknya? Mau bawain buah, deket-deket sini kan nggak ada yang jualan buah. Masak mau nyari dulu?" "Ada toko roti itu di dekat rumah sakit. Mampir sajalah beliin roti apa gitu yang pantes." "Kalo nggak suka roti gimana dong. Sayang kalo nggak kemakan." "Bunga? Ada juga di deket rumah sakit." "Duh, masak bunga? Laki kok dikasih bunga. Laki orang lagi. Nanti malah dikira yang nggak-nggak gitu." "Yaelah.. Lah terus mau dibawain apa?" "Tau nih.. Masak nggak bawa apa-apa?" "Bawain doa aja, Mbak," sahut seorang laki-laki yang duduk di meja sebelah mereka. Laki-laki yang sedari tadi seolah tak peduli tapi ternyata memasang telinganya. Dia melipat koran yang semenjak tadi dibacanya lalu menoleh kepada kedua wanita yang menatapnya dengan ter