Move On



"Move on", katamu. "Ke jalan yang lebih lurus,
biar bisa menjadi manusia yang lebih baik. Pelan-pelan, nanti juga bisa. Asal ada usaha," katamu lagi.

Aku memilih memandangi matahari yang sudah membuat langit memerah di luar jendela kereta api sana.

"Berat, tak mudah, aku tahu. Apalagi mengingat seberapa besar kamu mencintai semua hal yang terlihat begitu menyenangkan itu. Tapi mereka hanya tentang dunia. Tak akan menyelamatkanmu di kehidupan ke dua kelak."

Aku masih berdiam, enggan menanggapimu. Tak juga ingin menoleh dan memandangi wajahmu yang pasti dipenuhi senyuman kesukaanku itu. Aku tak suka setiap kali kamu membahas ini.

"Ayolah. Apa tak sayang kau habiskan waktumu untuk mendengarkan semua itu? Yang jelas-jelas haram untukmu? Apa tak sayang kau habiskan uangmu untuk merayakan peringatan yang bahkan tak diajarkan oleh Nabimu? Apa tak sayang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tak akan membantumu ke tempat yang lebih baik di hidup ke duamu?"

Tarikan napasku dalam kemudian.

"Lihat matahari itu. Dia pulang, Dek. Sendiri. Yang bisa dia andalkan hanya dirinya sendiri. Sama dengan kita suatu hari nanti. Entah kapan. Mungkin dua puluh tahun lagi. Tapi bisa jadi dua puluh detik lagi. Kita tak tahu. Apa kamu tak ingin ketika malaikat maut nanti datang menjemput, kita akan bisa menyambutnya dengan senyuman dan bukan dengan tangisan atau sesakan sesal?"

Aku menoleh dan aku benar. Senyuman kesukaanku itu ada di sana. Di wajahmu yang selalu berseri itu.

"Ayo move on, Dek. Nanti kutemani," katamu lagi.

#moveon

Photo credit to Chandra Kushartanto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil