Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Titik

Gambar
Taman Nukila, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi) "Jelek betul wajahmu kamu lipat-lipat begitu." Kamu, yang semenjak kita memulai jogging tadi hanya diam, akhirnya mengeluarkan suara. Aku angkat bahu. "Ada masalah?" tanyamu dengan napas terengah. Kamu memelankan ayunan kaki, mulai berjalan. Aku ikut berhenti berlari, ikut melangkah cepat di sisimu dengan sesekali mengambil napas panjang. "Masalah kantor lagi?" tanyamu. "Biasalah. Habis rapat kemarin. Atasan bikin aturan aneh-aneh yang nyusahin." "Terus kamu bilang apa waktu rapat?" Aku menggeleng. "Mau bilang apa? Memangnya aku ini siapa?" "Kamu lupa namamu?" "Nggak lucu." Aku manyun. "Serius. Aku ini di kantor bukan siapa-siapa. Aku tuh cuma sebuah titik kecil, tak penting." "Titik itu penting loh," katamu. "Penting apa? Kecil, tak bermakna." "Wooo.. jangan salah. Titik itu yang memulai s

Langit

Gambar
Sebuah senyuman tiba-tiba mengembang di wajahmu. Aku tahu dengan pasti bahwa kau tahu. Kau tahu bahwa semenjak tadi aku memandangimu, memandangi wajahmu yang dipenuhi ketakjuban itu.  Dengan cepat kau menoleh padaku, menatapku tepat ke kedua mataku. "Kau lihat apa?" Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu  kau tanyakan. "Kamu," jawabku pendek. Jawaban yang seharusnya juga tak perlu kukatakan. Toh kita sudah sama-sama tahu. Tapi tetap saja, aku mengatakannya. Sengaja. Aku menyukai ini. Rasa ini, di dalam hatiku ini, setiap kali aku menyebutkan apa saja tentangmu. "Kau ini benar-benar pencinta langit, ya?" tanyaku kemudian dengan kedua mata menjelajahi wajahmu. Kau tak menjawab. Tapi dari senyuman yang melebar di wajahmu, aku tak lagi merasa memerlukan jawab. Jawaban itu ada di sana, di senyumanmu. "Dan kau pasti akan bertanya mengapa." Aku mengangguk pelan. Kamu berpaling dariku, kembali menengadahkan kepalamu k

Halal

Gambar
Land Mark Ternate, Maluku Utara "Dulu kayaknya udah cukup ya kalo kita pesan sama anak-anak kita buat cari pekerjaan yang halal," katamu tiba-tiba begitu kita turun dari angkot. "Eh, kenapa ini kok tiba-tiba bahas halal-halalan?" tanyaku bingung. Kamu meringis. "Ya nggak papa. Liat sopir angkot tadi tetiba jadi kepikiran aja. Soalnya kan banyak orang yang malu jadi sopir angkot, apalagi yang sekolahnya tinggi. Terus keinget aja dulu orang tua suka bilang gini, 'Jangan malu kerja apa saja, yang penting halal'," katamu. Aku mengangguk-angguk. "Pesen itu kalo buat zaman sekarang masih kurang pas, menurutku," katamu. "Kurang pas gimana?" "Ya kurang pas aja. Soalnya sekarang banyak yang pekerjaannya sebenarnya halal, tapi pendapatannya engga." "Misalnya?" "Dagang. Berdagang barang yang halal itu kan sebenarnya halal kan, ya? Tapi ketika kita sudah mengakali timbangan atau berbuat curang,

Bergerak

Gambar
"Ke sana, yuk!" ajakmu seraya menunjuk ke ujung dermaga. "Nggak, ah. Males. Panas." "Nggak panas-panas banget, kok. Ayolah." "Mau ngapain emangnya?" "Lihat pemandangan." "Dari sini juga bisa." "Ya kan beda. Di sana lebih bagus." "Gimana tahu lebih bagus kalo ke sana aja belum pernah?" "Makanya ini mau ke sana." "Kalo ternyata sama aja, gimana?" Kamu mengangkat bahu. "Ya pokoknya ke sana aja dulu, lah." Aku menatapmu tak percaya. Tak percaya dengan betapa bodohnya pola pikirmu itu. Maunya ke sana, panas-panasan, hanya untuk sesuatu yang belum pasti ada. "Ayolaah. Kalo memang di sana tak bagus, aku yang bakal bikin bagus buat kamu."  Aku menurut, menjajari langkahmu di atas dermaga kayu. Kita menghentikan langkah di ujung dermaga. Air berwarna toska yang ada di bawah kita begitu bening dan memantulkan dasar laut beserta ikan-ikan warna-warn

Pernah Muda

Gambar
"Udahlah. Nggak usah sok nasihatin deh. Kayak kamu nggak pernah muda aja dulu. Kayak waktu muda dulu kamu juga nggak melakukan itu!" serunya. Lelaki itu tak membalas. "Belajar, biar nggak perlu nyontek waktu ulangan. Nyontek itu nggak baik. Nggak bermanfaat," katanya lagi dengan suara dibuat-buat. Lelaki itu masih juga tak membalas. "Sholat tepat waktu. Ayo duduk dengarkan tausiyah. Ayo ikut kajian," katanya lagi dengan suara yang masih saja dibuat-buat. Lelaki itu tetap diam. Tenang. Tak menunjukkan agresi. Wajahnya pun sama. Tak ada amarah yang menghiasi. "Bosan aku dengar ceramahmu. Sok suci! Kayak dulu kamu nggak pernah nyontek aja waktu sekolah? Kayak kamu sholat aja. Kayak kamu dulu nggak ugal-ugalan aja," serunya. "Udahlah, Mas. Nggak usah sok nasihatin adikmu ini. Biarkan adikmu ini menikmati masa mudanya. Biarkan dia senang-senang. Nanti kalo udah seumuran mas, aku bakalan tobat, kok!" "Iya, Dek. Aku pern

Boleh, Tapi...

Gambar
"Adik! Jangan naik-naik situ. Nanti jatuh!" Saya menoleh. Seorang ibu berteriak pada anaknya yang sedang memanjat pagar. "Nah, apa ibu bilang? Jatuh, kan? Makanya, kamu itu jangan ngeyel kalo ibu kasih tahu!" omelnya sewaktu si anak akhirnya terjatuh dan menangis. Bukan ibu saya. Saya ingat sekali, dulu saya juga seperti anak kecil itu. Permainan yang paling saya sukai adalah menjadi petualang. Bermain peran bersama teman-teman kampung, menjelajah kebun-kebun tetangga, memanjat pagar, atau memanjat traktor besar yang diparkir di dekat sawah depan rumah hanya untuk sekedar memuaskan fantasi kami sebagai petualang. Ibu tak pernah melarang saya. Saya tak pernah mendengar kata "Jangan!" atau "Tak boleh!". Ibu selalu bilang, "Boleh." "Boleh, tapi hati-hati memanjatnya, soalnya nanti kalau jatuh sakit." Lalu sewaktu saya tak hati-hati dan akhirnya terjatuh dari atas traktor dan pulang dengan kaki yang berdarah-da

Langit Hari Ini

Gambar
"Langit hari ini." Dia bergumam. Gumaman yang bagiku lebih terdengar sebagai keluhan. "Langit hari ini?" tanya kawannya. "Iya. Itu." Dia menunjuk ke arah bentangan langit di hadapan mereka. "Awan di mana-mana." "Apa yang salah dengan awan-awan itu?" "Aku tak suka. Mereka pasti akan membawa hujan. Yah, kau tahu lah seperti apa repotnya jika hujan turun." "Kau juga tahu lah seperti apa repotnya jika hujan tak pernah turun?" Ada senyuman jahil di wajah kawannya sekarang. Dia melirik kawannya dengan lirikan tak suka. "Syukuri saja. Hujan itu rahmat. Jika kau tak suka, tetap nikmati saja. Dijalani. Sama dengan semua hal di dunia ini. Segala hal yang tak bisa kita ubah, suka atau tak suka, ya dijalani saja. Dinikmati. Karena bisa jadi kau tak menyukai sesuatu padahal itu baik untukmu." "Ah, kenapa jadi berat begini obrolan kita? Sudah. Aku lapar, mari makan." Dia menegakkan tubuh, si

Tak Apa

Gambar
"Apa benar tak apa?" tanyaku. "Iya," katanya. "Tak apa-apa." Aku meragu. "Hei, apa lagi yang kamu pikirkan? Ambillah. Tak apa. Sedikit saja, kok. Itu tak sebanyak yang orang-orang di atasmu terima. Jadi, tak apa." "Dosa, ah. Bukan hak ku. Bukan punyaku." "Yang bilang bukan dosa itu siapa? Aku kan tak bilang kalau ini bukan dosa. Aku hanya bilang, tak apa. Sedikit saja, kok." "Dosa kok tidak apa-apa. Bohong kamu!" sergahku. Dia berdecak. Tapi senyuman tak juga lepas dari wajahnya. "Tuhan itu maha pengampun, kok. Dia akan mengampunimu jika kau meminta ampun padanya nanti," katanya. Aku mematung. Dalam hati mengamini ucapannya. "Tenang saja, besok kan masih ada waktu. Kamu masih bisa bertaubat besok," kata-katanya tak terdengar salah. Lalu perlahan aku menggerakkan tangan, menerima amplop berwarna cokelat yang disodorkan padaku lewat bawah meja. "Nah. Begitu. Anak ist

Pulang!

Gambar
Aku memandangi warna langit yang sudah kemerahan di luar jendela pesawat. Sore ini aku pulang. "Mbak, dipanggil bapak," kata petugas admin kantorku semalam, ketika aku lembur, berusaha menyelesaikan tumpukan pekerjaanku. Bapak. Kami memanggil beliau dengan nama itu. Atasanku. Orang paling disegani di kantor ini. Paling galak jika memarahi. Jadi setiap kali beliau memanggil seperti ini, hanya pikiran buruk yang ada di benakku. Entah pekerjaanku tak benar, atau cara kerjaku. Pastilah ada sesuatu yang tak benar. "Sibuk apa kamu hari ini?" Beliau melepas kaca mata, menatapku begitu aku memasuki ruang kerjanya. "Bikin laporan kegiatan yang kemarin, Pak." "Saya dengar ibumu sakit. Benar?" Kepalaku terangguk. Ibu memang demam sejak dua hari lalu. "Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya beliau lagi. "Ibumu sakit. Seharusnya kau bersamanya sekarang, bukannya bertahan di kantor begini." "Hanya demam, Pak.&qu

Minggu Pagi Ini

Gambar
Pantai Kota Baru, Ternate, Maluku Utara Ditulis untuk menjawab tantangan dari IG @30haribercerita MINGGU PAGI INI AKU TERBANGUN DI antara silaunya cahaya matahari. Ah, sial. Aku kesiangan lagi. Subuhku terlewat lagi. Padahal kemarin aku sudah berjanji untuk tak melewatkannya lagi. Tapi tetap saja. Seharusnya aku bisa lebih baik dari ini. Seharusnya, kuusahakan di awal waktu tidurku malam tadi. Tapi, tidak. Yang kulakukan justru menghabiskan malamku berkutat dengan ponselku. Sibuk membaca berita ini itu yang nanti tak akan di tanyakan ketika matiku. Sibuk menonton video tak penting ini dan itu. Aku bahkan tertawa terbahak-bahak hanya karena menonton video orang-orang menjahili kawannya sendiri, merekam tingkah mereka yang sedang mabuk hingga tak menyadari dirinya sedang menciumi dan MEMELUK TIANG LISTRIK. Padahal apa coba manfaatnya? Tak ada. Ah, bagaimana ini? Menyebalkan sekali. Sebalnya aku pada diriku sendiri. Bisa-bisanya kulewatkan lagi subuhku seperti ini. Bagaima

Kompak

Gambar
photo credit: myphotocentral.com "Pokoknya kita semua harus kompak!" teriak sang ketua kelas. "Betul. Semua harus kompak. Tidak ada satu pun yang boleh mengaku bahwa kita sudah mendapatkan bocoran soal ujian!" sambut wakilnya. Lalu kelas itu berubah riuh. Semua kepala terangguk menyetujui. Semua mulut mengeluarkan suara rendah mengiyakan. Semua, kecuali satu. Satu kepala menggeleng pelan. Satu mulut menggumamkan ketidaksepakatan. "Sudahlah, ikut saja," bisik kawannya yang ada di kiri. "Ini demi kebaikan bersama." Satu kepala itu tetap tergeleng pelan. Satu mulut itu masih menggumamkan penolakan. "Apa kau tak ingin kita sekelas bisa lulus bersama?" bisik kawannya yang di sebelah kanan. "Apa tega kau tinggalkan beberapa di antara kita yang sudah seperti keluarga sendiri ini untuk lulus belakangan, untuk tak bersama-sama?" Satu kepala masih saja menggeleng pelan. "Bukan begini caranya." Suaranya akhirn

Tentang Nasihat dan Semangkuk Wedang Ronde

Gambar
"Mau ngapain di sini?" tanyaku sewaktu kamu menghentikan motor di depan pendopo. "Sudah, ikut saja," katamu sambil mendahuluiku memesan dua mangkuk wedang ronde lalu mengambil tempat duduk di belakang orang-orang yang sedang menikmati keroncong. Aku menurut, ikut duduk di sampingmu lalu mulai menikmati wedang ronde yang disuguhkan padaku. "Mukamu suntuk sekali seharian ini. Kenapa?" tanyamu. Kamu. Seharusnya aku tahu kamu akan menanyakan itu sewaktu kita berhenti di dekat gerobak penjual ronde tadi. Kamu kan selalu seperti ini. "Biasalah, Mas. Mahasiswa. Mulai kurang ajar mereka. Tak tahu sopan santun," keluhanku mulai keluar sedikit. "Kenapa lagi memangnya?" "Itu, masalah praktik klinik. Dari awal sudah diberitahu kapan harus responsi. Tapi waktunya responsi, mereka tak datang. Lalu setelah batas waktunya habis, mereka datang dan maksa-maksa minta diresponsi. Waktu aku bilang aku tak bisa, mereka maksa yang alesa

Cantik

Gambar
Pantai Buyutan, Pacitan, Jawa Timur "Cantiiiik..." Dia tak menyahut, hanya diam memandangi langit dan lautan yang saling berpegangan di hadapan mereka. "Kata mereka aku tak cantik." Lima kata itu tiba-tiba terucap dari mulutnya setelah hening yang begitu lama. "Mereka siapa?" "Orang-orang." "Kenapa?" "Karena kulitku tak kuning langsat, tak juga putih cerah merona." Kedua tangannya berpegangan pada pagar bambu di hadapan mereka. "Karena tubuhku tak langsing, pun semampai seperti artis-artis di televisi," katanya lagi. "Kamu cantik," balas temannya. "Kamu hanya bilang seperti itu karena kamu temanku." "Ya karena aku temanmu makannya kubilang padamu. Seorang teman tak berdusta pada temannya. Tak boleh." "Hanya kamu yang bilang begitu." "Memangnya sepenting itu apa kata orang?" Dia tak menyahut dengan kata, hanya mengangkat kedua bahuny

Tunda

Gambar
Aku memasang telinga ketika suara perempuan itu terdengar lagi di pengeras suara. Berharap panggilan itu ditujukan pada penumpang pesawat yang seharusnya sudah membawaku pulang tiga jam yang lalu. Tapi, bukan. Pesawatku masih juga belum ada kabar baru, belum ada tanda-tanda datang. "Dinikmati saja," kata suara di belakangku. Dinikmati? Enak saja dia bilang dinikmati. Dia kan tidak tahu seberapa lelahnya aku. Dia tidak tahu apa saja yang sudah kulalui di kota ini, bagaimana padatnya kegiatanku seminggu ini hingga tidur saja aku tak bisa nyenyak? Apanya yang mau dinikmati? "Sudahlah. Nikmati saja," katanya lagi. Nadanya sok menasihati sekali. Dengan cepat aku berbalik, siap membalasnya dengan ribuan keluhan yang mengganjal di tenggorokan. Siap mendamprat manusia yang sok menasihati itu. Tapi, lantas aku urung sewaktu sadar bahwa dia tak sedang berbicara denganku. Tangan kanannya memegang ponsel yang menempel di telinganya. Aku melengos. Sial. Kupikir dia

Bapak

Gambar
"Langitnya biru sekali, ya?" Aku menoleh. Bapak berdiri di sisiku, ikut memandangi warna biru yang sudah mencuri perhatianku semenjak tadi. Tadi. Perhatianku kini tercurah pada lelaki yang berdiri di sisiku. Dua puluh dua tahun. Jumlah yang bisa kuhitung sejak terakhir kalinya aku melihat wajah bapak. Tapi beliau tak berubah. Hanya tubuhnya saja yang sekarang terlihat begitu kurus. Tubuhku beku, tak bergerak sedikit pun. Padahal mauku, aku menghambur ke dalam pelukannya lalu mengeratkan pelukan di tubuhnya. Sekedar melepaskan rindu. Tapi tidak. Aku tak bergerak. "Nduk," panggilnya. Aku masih membeku, hanya diam menatapnya. "Kamu sayang sama bapakmu ini?" tanyanya. Aku mengangguk. Setelah sekian lama, setelah ribuan kata yang kutuliskan betapa aku menyayanginya, aku merasa heran bapak masih perlu bertanya. "Benar kamu sayang bapakmu ini, Nduk?" "Aku mengangguk pelan." "Jika benar kamu sayang bapak, kirim doam

Lampu Hias

Gambar
"Mas.. mas. Lihat itu, deh!" Aku mencolek lenganmu, membuatmu yang sedang menikmati semangkuk wedang ronde segera menoleh ke arah yang kutunjuk. "Apa?" tanyamu. "Lihat bapak itu.. Jenggotnya sampai kayak gitu banget ya? Hahaha.. Lucu.." "Apanya yang lucu?" tanyamu. "Ya lucu aja. Jenggotnya sampe kayak gitu gondrongnya, sampe keluar-keluar gitu dari helmnya." Kamu tak lagi menanggapi. Lebih memilih menghabiskan air jahe di mangkukmu itu. "Lampu-lampu itu bagus ya?" katamu setelah menengadahkan kepala dan menatap lampu hias yang ada di atas kita. "Iya sih. Idenya keren." "Kayak manusia. Kayak kita," katamu. Aku mengerutkan dahi. "Apanya?" "Lampu hias itu." Kamu menunjuk lampu itu dengan sudut matamu. "Setiap kali kita ngomongin orang lain yang kita anggap tak bagus, kita seperti lampu itu. Merasa lebih bercahaya, merasa indah. Padahal sebenarnya nggak. Dan sebe

Dalam Hening

Gambar
Aku menarik napas dalam dan memejamkan mata. Ada aroma hujan yang menguar di udara. Hujan memang baru saja reda. Mungkin itu sebabnya tempat ini sepi pengunjung sore ini. Hanya ada aku. Bahkan bapak tua yang biasa berjaga juga tak ada. "Kau lelah." Bisikan itu mampir di telingaku. "Ya," jawabku pelan. Aku tak ingin mengingkari. Aku memang lelah. Aku lelah pada dunia, pada manusia-manusianya yang banyak sudah melupakan bagaimana caranya memanusiakan manusia lainnya. Aku lelah pada manusia-manusia yang merasa lebih baik dari manusia lainnya, lalu merasa selalu paling benar dan paling tahu. Padahal mereka tak selalu yang paling benar, tak selalu yang paling tahu. "Lalu?" tanya suara itu. "Aku ingin menyerah saja. Ingin mengikuti arus saja. Tak perlu aku mengeluarkan tenaga. Hanya mengikuti arus, hanya cukup diam dan semua akan baik-baik saja." "Hanya ikan mati yang pergi mengikuti arus." Bisikan itu masih halus, tapi begitu

Terima Kasih

Gambar
"Kau suka?" tanyamu seraya ikut duduk di sisiku. Aku mengangguk. "Terima kasih." "Untuk?" "Membawaku ke sini. Ini luar biasa." Kamu tersenyum. Tapi, ada yang aneh di sana, di dalam senyumanmu. "Apa?" tanyaku. "Terima kasih," katamu. "Entahlah. Mendengarmu mengatakan itu..." "Apaaa?" Aku menuntut penjelasan. "Aku." Kamu melemparkan pandangan ke warna toska yang ada di bawah kaki kita. "Aku selalu mudah mengucapkan terima kasih, berterima kasih pada setiap orang yang kuanggap telah membantu, memberiku sesuatu yang kadang begitu sederhana." Aku menunggu. "Tapi, pada Tuhanku yang telah memberiku begitu banyak hal, yang telah mencukupi semua kebutuhanku, yang telah memberikan semua permintaanku...." Kamu mengangkat bahu, lagi-lagi menggantung kalimatmu. Aku hanya diam, ikut memandangi air laut yang begitu jernih di hadapan kita.

Jangan Nanti

Gambar
Sekarang, jangan nanti. Jangan ditunda lagi. Perbaiki diri. Karena mati... datangnya tak bisa kita prediksi. Sekarang, jangan nanti. Bisa jadi 'nanti' itu tak datang lagi. Berubahlah menjadi baik tanpa menunggu nanti. Karena waktu juga tak akan bisa diputar kembali. Jangan sampai malah sesal yang kau dapat nanti. Waktu yang tepat itu diciptakan, bukan dinanti. Jika kau terus beralasan menunggu waktu yang tepat untuk memperbaiki dirimu,               dia tak akan ketemu. Segala yang baik, jangan pernah ditunda dengan alasan menunggu waktu. Ciptakan. Putuskan. Lakukan. Sekarang, jangan nanti. Ternate, 13 Januari 2018

Tak Akan Lupa

Gambar
"Kau datang," sambutku. "Kupikir kau belum akan bangun." "Aku memang berharap begitu. Tapi, demi sebuah janji.." Dia mengangkat bahu lalu ikut duduk di atas semen bersamaku. Kedua kaki kami sama-sama menggantung di atas air laut yang begitu jernih pagi ini. "Jadi, yakin kau akan pergi?" tanyanya. Kedua matanya memandangi bentangan langit yang bertautan dengan lautan di depan kami. "Iya. Harus." Jawabku pelan. Hampir seperti bergumam. "Yakin kau akan bisa meninggalkan kota di mana kau bisa melihat langit bercinta dengan lautan setiap hari? Di mana kau bisa setiap saat bergumul denga beningnya air laut ini? Di mana kau bisa setiap pagi menyambut matahari dengan leluasa, lalu mengantarkannya pulang setiap senja?" Aku menghela napas lalu menoleh padanya. "Yakin kau akan bisa meninggalkan kita?" tanyanya lagi. Aku tersenyum, memandangi kedua mata sahabatku yang mulai berkaca-kaca itu. "Aku yakin

Belum Siap

Gambar
"Kapan kamu mau pakai jilbab?" "Nanti. Aku belum siap." "Kapan kamu siapnya?" "Tunggulah. Aku mau menjilbabi hatiku dulu." "Bagaimana caranya menjilbabi hati?" "Ya.. pokoknya nanti lah." "Mengapa tak sekarang saja?" "Aku belum siap." "Berjilbab itu wajib. Tak perlu menunggu siap. Karena mati juga tak akan menunggu kita siap." "Kau ini siapa memangnya sok menasihatiku? Sudah merasa hebat kamu?" "Memangnya kamu sendiri sudah sehebat apa sampai tak lagi mau menerima nasihat?" Aku diam, hanya menatap tak suka padanya. Pada dia yang ada di dalam cermin sana.

Kedatangan

Gambar
"Rapi bener.." "Harus, dong. Hari ini aku dapet tugas khusus. Ada tamu spesial yang mau datang." "Siapa?" "Bapak X, wakil rakyat, penyambung aspirasi. Orang besar. Jadi wajarlah jika aku berdandan serapi ini." "Mantap juga persiapanmu." "Loh, harus itu. Untuk menyambut tamu sepenting itu, persiapan memang harus mantap. Kalo tak penting, buat apa lah aku bersiap seperti ini." "Itu. Jika dianggap penting, pasti kita akan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya kan ya?" "Tentu saja. Tapi, tunggu. Aku merasa kamu akan mengatakan sesuatu padaku." "Itu. Katamu, untuk menyambut kedatangan tamu yang kita anggap penting, seharusnya kan kita melakukan persiapan yang mantap. Berarti, dia itu tak penting buat kita, ya? Kita tahu dia pasti akan datang, tapi kok rasanya tak serius kita menyiapkan penyambutannya." "Dia? Dia siapa?" "Malaikat pencabut nyawa."

Dua Pohon

Gambar
Kita ini seperti dua pohon yang ditanam bersebelahan. Akar kita tertanam di tanah yang terpisah, tetapi ranting-ranting kita tetap bisa saling bersentuhan. Kita berasal dari keluarga berbeda, pun latar belakang budaya. Mereka bahkan bilang Tuhan kita tak sama. Tapi, apa lantas kita tak lagi bisa berteman? Apa lantas salah jika kita bergandengan tangan dalam kebaikan? Bukankah manusia memang diciptakan berbeda-beda agar bisa saling mengenal? Lantas mengapa berkawan saja tak diperkenankan hanya karena perbedaan? Ah, entahlah. Aku mulai tak paham.

Teman Apa

Gambar
"Teman," cibirku. "Bukan temanku lagi dia sekarang." "Kenapa?" tanyamu. "Berubah dia sekarang. Kuundang ke pesta ulang tahunku, tak mau dia datang." "Dia bilang kenapa?" "Katanya perayaan ulang tahun itu tak ada di ajaran agama. Padahal tahun lalu dia bikin pesta ulang tahun." Kamu mengangguk-anggukkan kepala. "Makin panjang kerudungnya, makin menyebalkan dia. Makin nggak asik. Diajak karaokean, dia bilang musik itu haram. Diajak nongkrong, dia bilang sayang waktu dibuang-buang. Kuajak ngerayain tahun baruan, dia bilang itu bukan perayaan agama kita. Cih, sok dekat dengan Tuhan sekali dia ini." "Stop. Aku nggak mau denger lagi kamu jelekin dia," katamu. Aku menegakkan kepala, menatapmu. "Sekarang malah aku yang perlu nanya. Kamu itu sebenernya teman macam apa?" "Maksudmu?" "Jika benar kamu menganggap dirimu teman, bukankah seharusnya kamu dukung dia berhijr

Di Akhir Hari Nanti

Gambar
"Jangan ambil fotoku," katamu. "Jangan biarkan orang mengambil fotoku. Tolong jaga aibku," katamu lagi. Aku tak mengatakan apa-apa, hanya menganggukkan kepala. "Kau lihat, kan? Banyak sekali orang menyebarkan gambar di sosial media? Gambar orang-orang yang mereka bilang mereka sayang? Padahal mereka sedang sakit, sedang tak ingin dilihat orang lain.. Jika benar sayang, bukannya seharusnya mereka menjaga?" Yang kulakukan masih sama, hanya menganggukkan kepala. "Apalagi jika nanti aku mati. Jangan ambil fotoku. Aku tak tahu akan seperti apa nanti matiku. Jadi tolong, tetap jaga aibku." Aku memalingkan pandangan keluar jendela. Mengalihkan pandangan pada langit yang mulai memerah di luar sana. "Bisakah kita tak membicarakan ini?" tanyaku tanpa menatapmu. Kamu mempererat genggaman di tanganku. Bukanya kehangatan, yang kurasakan sekarang hatiku mendadak beku. "Harus kukatakan sekarang, Dek. Kita

Tak Ada Judul

Gambar
Dua ratus tiga puluh enam menit, hampir empat jam kuhabiskan sia-sia. Selama itu yang kulakukan hanya menatap layar ponsel dan laman kosong yang siap kutulisi di sana. Ribuan kata yang berlompatan di dalam kepala tak ada yang bisa kutata. Inginnya, aku menuliskan rindu. Tapi, aku malu pada Tuhanku. Bagaimana bisa aku mengatakan rindu sedangkan dia selalu ada, tapi aku yang memilih untuk lebih sibuk bekerja daripada dekat dengan-Nya? "Mungkin sudah saatnya kamu pulang," katamu. "Memangnya Dia masih mau menerimaku?" tanyaku dengan hati yang digenangi malu. "Mengapa tidak?" "Banyak dosaku." "Tapi ada kan suara di dalam hatimu yang ingin pulang karena rindu? Karena pada-Nya kau merindu? Iya, kan?" "Entahlah," kataku. "Pulanglah. Dia juga rindu padamu. Dia rindu kamu datang pada-Nya, mengeluh pada-Nya, meminta pada-Nya." Aku memalingkan pandangan dari laman kosong yang belum juga kutulisi, ganti meman

Aku Memanggilnya Codet

Gambar
Aku memanggilnya Codet. Lima tahun yang lalu aku menemukannya terluka parah. Sebelah matanya rusak. Sebelah daun telinganya terbelah. Di tempat lain di tubuhnya ada juga luka-luka berdarah. Tapi, sewaktu kudekati, dengan terpincang-pincang dia berlari pergi. Dalam hidup, mungkin aku harus sepertinya. Tak boleh manja. Tak peduli hidup memberikan luka seperti apa, jika masih bisa berdiri, harus berusaha berdiri. Aku memanggilnya Codet. Kupikir, setelah sore itu aku tak akan pernah melihatnya lagi. Kupikir, dengan luka separah itu, dia sudah pasti mati. Tapi ternyata tidak. Tak perlu waktu lama, aku sudah melihatnya berjalan kesana-kemari di lingkungan kantor tempatku bekerja. Di tubuhnya masih ada sisa luka terbuka. Warnanya merah tua. Caranya berjalan masih agak terpincang-pincang. Hidup itu seperti itu. Mati itu sesuatu yang pasti, tapi datangnya tak bisa diduga, tak bisa diminta. Jika Tuhan berkata "Kamu akan bertahan", maka aku pasti akan bertahan. Tak peduli walaupun

Matahari

Gambar
Photo credit IG: @yo___e "Sudah gelap?" tanyamu. "Hampir." "Warna apa yang kau lihat?" "Sedikit biru di bagian atas, semakin ke bawah semakin memudar, lalu berubah oranye, dan semakin gelap saat mendekati lautan." Aku memberikan penjelasan sedetail mungkin yang aku bisa, seperti biasa. "Kau suka." Bukan pertanyaan. Sebuah tebakan pasti. Pernyataan. Dan kamu benar. Aku memang menyukai warna oranye yang mulai diselimuti gelap itu. Menenangkan. "Kau masih bisa melihatnya? Matahari?" tanyamu lagi. "Ya. Dia sudah mulai turun, hampir hilang ditenggelamkan lautan. Coba lihat dia. Matahari yang sehebat itu saja tak angkuh, masih mau bersujud pada Tuhan yang memilikinya di setiap pagi dan petang. Sedangkan kita? Manusia?" Ada senyuman di wajahmu ketika aku menoleh. "Ah, aku mulai melantur lagi," kataku. "Iya," katamu. "Tapi aku suka." "Apa sih, Ja? Gombal banget.

Si Muka Pucat

Gambar
"Lihat, si Muka Pucat itu," katamu sambil menunjuk bulan yang menggantung di langit sore ini. "Bulan," jawabnya. "Bukan si Muka Pucat." "Haha.. Iyaa. Bulan. Coba kau lihat dia. Apa coba bagusnya? Tak ada cantik-cantiknya. Jika siang, dia pucat seperti ini, tak menarik hati. Sewaktu malam, dia hanya bisa memantulkan cahaya, tak bisa menghasilnya cahaya sendiri. Dan jika dilihat dari dekat, aaah.. Jelek sekali rupanya." Kamu lantas menyeruput air jahe gula merah dari dalam gelas bening. Air guraka, mereka sebut. "Bagusnya, dia itu mengajarkan tentang kepatuhan. Dia patuh pada Tuhannya. Dengan setia dia memutar di orbitnya, karena Tuhan menyuruhnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh. Karena dia tahu, jika dia membantah, berhenti berputar, atau berputar tak sesuai perintah, akan ada bencana yang datang." "Ya tapi tetap saja. Dia itu tak cantik. Tak secantik matahari yang pantulan warna cahayanya saja selalu bisa menenan

Tak Dibawa Mati

Gambar
image source: latitude.nu "Kamu tuh kerja mati-matian buat ngedapetin sesuatu yang nggak bisa dibawa mati." "Apa yang nggak bisa dibawa mati?" "Harta lah. Apa lagi memangnya?" "Kata siapa harta tak bisa dibawa mati?" "Memangnya bisa gitu kamu mati bawa harta? Kantong aja nggak ada. Nanti kalo mati kan kain kafan kita nggak berkantong. Nggak bisa kita ngantongin harta. Mau ikut dikubur sama kita juga nggak bakalan bisa kita bawa ke akherat." "Yakin harta nggak bisa dibawa mati?" Kamu tersenyum menggoda. "Yakinlah." "Tapi, aku lebih yakin harta itu bisa dibawa mati." "Nggak bisa! Harta itu urusan dunia. Kita itu mati ninggalin dunia. Semua hal yang bersifat duniawi bakalan kita tinggal, nggak akan bisa kita bawa!" "Bisa, kok dibawa mati." Nada suaramu tetap menggoda, tetap sesantai sebelumnya. "Ya nggak bisa, lah! Kamu tuh pernah belajar ilmu agama nggak, sih

Tahun Baruan

Gambar
Image source: http://www.lamudi.co.id "Malem tahun baru mau ke mana kita?" "Nggak ke mana-mana." "Masak nggak kemana-mana?" "Memangnya harus ke mana-mana?" "Ya nggak juga sih. Cuman ya masak nggak ke mana-mana?" "Memangnya mau ke mana?" "Ya ke mana kek.. Keluar gitu.. Masak nggak ke mana-mana?" "Memangnya mau ngapain kalo keluar?" "Keliling kota lah.." "Terus, apa manfaatnya?" "Ya buat seneng-seneng aja. Ngerayain pergantian tahun." "Tapi aku nggak ngerayain tahun baru." "Haisshh.. Udahlah. Kalo nggak mau keluar ya udah. Jadi nyebelin!" "Kok nyebelin. Ya kan aku cuman nanya." "Kamu tuh kayak dulu nggak pernah keluar aja pas tahun baru. Kayak dulu kamu nggak pernah ngerayain tahun baru aja!" "Ya kan itu dulu. Sebelum aku tahu kalo itu salah." "Udah ah. Males ngomong sama kamu. Ujungny