Aku Memanggilnya Codet


Aku memanggilnya Codet. Lima tahun yang lalu aku menemukannya terluka parah. Sebelah matanya rusak. Sebelah daun telinganya terbelah. Di tempat lain di tubuhnya ada juga luka-luka berdarah. Tapi, sewaktu kudekati, dengan terpincang-pincang dia berlari pergi. Dalam hidup, mungkin aku harus sepertinya. Tak boleh manja. Tak peduli hidup memberikan luka seperti apa, jika masih bisa berdiri, harus berusaha berdiri.

Aku memanggilnya Codet. Kupikir, setelah sore itu aku tak akan pernah melihatnya lagi. Kupikir, dengan luka separah itu, dia sudah pasti mati. Tapi ternyata tidak. Tak perlu waktu lama, aku sudah melihatnya berjalan kesana-kemari di lingkungan kantor tempatku bekerja. Di tubuhnya masih ada sisa luka terbuka. Warnanya merah tua. Caranya berjalan masih agak terpincang-pincang. Hidup itu seperti itu. Mati itu sesuatu yang pasti, tapi datangnya tak bisa diduga, tak bisa diminta. Jika Tuhan berkata "Kamu akan bertahan", maka aku pasti akan bertahan. Tak peduli walaupun semua orang bilang aku tak akan bisa bertahan.

Aku memanggilnya Codet. Tadi pagi aku melihatnya lagi. Berjalan di jalan aspal menurun depan kantorku. Matanya tinggal satu. Daun telinganya yang kiri hanya separuh. Di wajahnya, ada bekas luka besar. Rambut-rambutnya yang berwarna hitam dan putih, tak bisa tumbuh di bekas luka. Tak rata. Tapi caranya berjalan, aku menyukainya. Kepalanya terangkat, langkahnya tegap. Seolah setelah semua luka yang didapatkannya, dia masih terus menantang apa saja yang mungkin datang. Menjalani hidup seharusnya seperti dia ini. Jalani dengan gagah berani. Setiap luka seharusnya pembelajaran, bukan rintangan yang melambatkan langkah.

Aku memanggilnya Codet.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil