Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Diit

Gambar
"Pantesan subur gitu badannya. Makannya martabak terus. Kolesterol.. Lemak.." "Apa sih kamu ini?" Aku melirikmu. Agak tak nyaman mendengar kata-kata yang baru saja kamu bisikkan. "Itu. Coba lihat laki-laki di sebelahmu itu. Besar sekali perutnya. Sudah kayak gitu kok masih aja jajan martabak. Mbok ya diit, jaga kesehatan." "Ya coba kamu kasih tahu dia." "Ogaah. Gila aja. Bisa-bisa kena damprat nanti aku. Atau, kalau tidak, dipukulnya aku dengan perutnya sampai aku terlempar ke seberang jalan sana." Kamu lantas terkikik kecil, berusaha sepelan mungkin. Aku tak paham di mana lucunya. Jadi aku diam saja, tak ikut tertawa. "Eh, mas. Punya saya ga usah pakai garam sama micin ya?" katamu kepada penjual martabak yang sedang bersiap membuatkan pesanan kita. "Diit ngurangin garam, mbak?" tanya si penjual. "Hehe.. Iya, Mas. Takut hipertensi." "Ada diit yang lebih bagus dari sekedar ngurangi

Foto

Gambar
Anak zaman sekarang. Terlalu sibuk dengan gawai-nya masing-masing. Padahal ada teman yang duduk di hadapannya. Begitu keterangan foto itu selesai kutulis, aku langsung mengunggah foto yang diam-diam kuambil itu ke akun media sosialku. Tak habis pikir dengan kelakuan manusia zaman sekarang. Di depannya ada manusia kok malah sibuk dengan gawainya sendiri. Ponselku bergetar. Sebuah pemberitahuan muncul di bagian kanan atas logo media sosial. Aku membukanya. Seorang teman di media sosial itu, yang sebenarnya tak terlalu kukenal, mengirimkan pesan pribadi padaku. QS. Al-Hujurat: 12. Hanya itu yang dituliskan dalam pesannya. Aku dengan cepat membalas pesannya. Maaf, apa maksudnya? Tentang foto yang baru saja kamu bagikan. Sudahkah kamu meminta izin pada mereka sebelum mengambil.gambar mereka? Sudahkah meminta izin untuk mengunggahnya? Aku tak menjawab. Dia masih menuliskan sesuatu di sana. Hati-hati dengan ghibah zaman sekarang. Mengambil gambar orang tanpa izin, mengung

Prioritas

Gambar
"Aaaah.. capeeeek...," keluhku sambil merentangkan tangan, memcoba mengurangi pegal setelah menulis beberapa halaman kertas folio bergaris. "Banyak tugasnya?" tanya bunda. Di tangannya sudah ada secangkir teh hangat, lengkap dengan tatakan cangkirnya. "Banyak, Bunda.. Setiap minggu harus bikin laporan pasien kelolaan. Harus tulis tangan. Banyak. Padahal aku praktik di enam ruangan. Bayangin dong berapa banyak yang harus aku tulis?" "Praktikmu di rumah sakit bukannya udah sebulanan?" "Iyaaa..." "Bukannya laporan harusnya ditulis per minggu?" "Iya." "Terus kenapa baru ditulis sekarang semuanya?" "Malees..Soalnya banyak yang harus ditulis. Jadi kemaren males mau mulainya." "Terus, kalo kalo tunda, laporanmu bisa tiba-tiba selesai gitu?" "Ya engga." "Kalo kamu tunda, orang lain akan menyelesaikan laporanmu gitu?" "Engga." "Teru

Cadar

Gambar
Pantai Sulamadaha, Ternate, Maluku Utara (Dok. Pribadi) "Manusia ini ribuuut aja kerjaannya. Yang tahlilan lah. Yang cara nunjuk pas tahiyat lah. Mbok ya udah. Biarkan saja mereka dengan kepercayaannya," Dia meraih sepotong pisang goreng yang dibelah tipis-tipis, mirip keripik. Namanya pisang mulu bebe katanya. "Biarkan gimana? Ya kalo emang bener dan yang lain salah kan tugasnya yang udah bener itu ngasih tahu supaya yang salah ikut bener," balas temannya. Di depannya ada segelas es kelapa muda dengan sirup merah muda. "Hla emang yakin udah paling bener? Kan bisa aja yang lain juga ga salah." "Terus, biarkan saja gitu?" "Iyalah biarkan saja. Yang mau tahlilan ya monggo, yang nggak, ya nggak usah. Dan nggak usah ngotot maksain yang tahlilan buat nggak tahlilan. Pun sebaliknya." Temannya mengangguk-anggukkan kepala. Aku yang sedang sibuk dengan sepiring pisang mulu bebe-ku sendiri hanya diam. Kedua mataku berusaha menikm

Tahlilan

Gambar
Bandara Sultan Baabullah Ternate, Maluku Utara (Dok. Pribadi) "Tahlilan aja kok diributin. Mereka itu kan melakukan sesuatu yang baik. Mendoakan. Terus di sana kan mereka ngaji gitu." "Tindakannya mungkin baik. Masalahnya tahlilan itu ga diajarkan sama Rasulullah. Rasulullah dan para sahabat ga ada yg tahlilan." "Loh, kamu tau ga sih sejarahnya tahlilan? Ga tau sejarahnya kok komen." "Aku kan cuma ngomong berdasarkan agama aja." Lalu mereka melanjutkan obrolan itu. Diskusi. Argumentasi. Perdebatan. Entah kata apa yang tepat menggambarkannya. Aku yang duduk di dekat jendela, di sisi mereka hanya diam saja, pura-pura tak peduli tapi pasang telinga. Lalu dalam hati menertawakan mereka. Yang satu baru kenal agama. Yang satunya sholat saja hanya dua kali sehari. Eh, berani berdebat masalah agama. Lucu sekali. "Lucu sekali, kan?" Aku menatap ke luar jendela pesawat, ke arah tanah yang baru saja diinjak roda pesawat yang mu

Takabur

Gambar
"Aku kemarin ketemu anaknya si anu. Yang jelek itu loh." "Yang jelek?" "Ah itu loh. Anak perempuannya yang nomor empat." "Kok jelek?" "Ya kalo dibandingin saudara-saudaranya kan dia yang paling jelek." "Ga boleh gitu. Masak orang kok dikatain jelek?" "Hahaha.. Ya bagaimana? Kenyataannya memang begitu. Dia kan memang yang paling gendut, hitam, keriting rambutnya. Lah saudara-saudaranya kan kulitnya putih, rambutnya lurus." "Memangnya yang namanya cantik itu hanya mereka yang berambut lurus, berkulit putih, dan bertubuh langsing?" "Ya kenyataannya mereka yang seperti itu memang terlihat lebih cantik, kok." "Itu kan menurut manusia saja. Menurut Alloh, yang membuat cantik seseorang itu kan imannya." "Iyaaa iyaaa.. Cuman masalah itu aja kok bawa-bawa agama." "Ya kan kita manusia beragama. Dan agama kita mengajarkan bahwa tak baik berkata seperti itu.

Bentakan

Gambar
"Bapak, coba lihat itu.." "Sebentar, bapak balas sms ini dulu." Aku abai padanya. Pesan singkat dari teman sejawatku memang sedang memerlukan balasan secepatnya. "Bapaaak.. coba lihat ini duluu. Sebentaaar sajaa," pintanya. "Kakak! Sabar sedikit. Sms ini penting! Bapak harus membalasnya sekarang juga! Apa susahnya sih kamu sabar sebentar?" bentakku dengan gusar. Lantas tak ada suara. Aku membalas pesan singkat itu tanpa ada gangguan. Satu, dua, tiga kali kami bertukar pesan tentang pekerjaan kantor yang tak pernah ada habisnya itu. "Ini jagungku! Ambil jagungmu sendiri sana!" Aku meletakkan ponsel, mendapati sulungku sedang menikmati jagung bakarnya, enggan berbagi dengan adiknya. Lalu kulihat wajah bungsuku siap menumpahkan tangis karena bentakan kakaknya. "Kakak, tidak boleh bicara seperti itu! Tak baik membentak. Bicara sama adik kok volumenya seperti itu?" "Kenapa tak boleh membentak?" tanyany

Kabar

Gambar
"Jenguk suaminya si X, yuk!" "Nggak, ah." "Kenapa?" "Aku ga dapet kabar. Kamu emangnya dikabarin sama dia kalo suaminya opname?" "Nggak. Dikasihtau temen." "Ituu.. Ngapain jengukin? Dikabarin juga nggak kok. Padahal di kantor ini kan dia paling deketnya sama kita. Tega-teganya ada kabar sepenting itu kita nggak dikabari? Masak orang lain malah tau?" "Kalau memang kamu merasa dekat dengannya, seharusnya kamu paham bagaimana kondisi dia. Dia di kota ini hanya berdua dengan suaminya. Tak ada keluarga. Lalu tiba-tiba suaminya kecelakaan, masuk rumah sakit. Menurutmu dia akan punya waktu untuk mengabari kita satu-satu? Menurutmu dia tak sibuk mengurus ini itu? Sedangkan kita sama-sama tahu bagaimana ribetnya pengurusan berkas sakit." "Iya sih..." "Makanya, jika benar kamu merasa dekat dengannya, ayo kita jenguk suaminya, doakan kesembuhannya, jika perlu, kita bantu biaya perawatannya ta