Diit



"Pantesan subur gitu badannya. Makannya martabak terus. Kolesterol.. Lemak.."

"Apa sih kamu ini?" Aku melirikmu. Agak tak nyaman mendengar kata-kata yang baru saja kamu bisikkan.

"Itu. Coba lihat laki-laki di sebelahmu itu. Besar sekali perutnya. Sudah kayak gitu kok masih aja jajan martabak. Mbok ya diit, jaga kesehatan."

"Ya coba kamu kasih tahu dia."

"Ogaah. Gila aja. Bisa-bisa kena damprat nanti aku. Atau, kalau tidak, dipukulnya aku dengan perutnya sampai aku terlempar ke seberang jalan sana." Kamu lantas terkikik kecil, berusaha sepelan mungkin.

Aku tak paham di mana lucunya. Jadi aku diam saja, tak ikut tertawa.

"Eh, mas. Punya saya ga usah pakai garam sama micin ya?" katamu kepada penjual martabak yang sedang bersiap membuatkan pesanan kita.

"Diit ngurangin garam, mbak?" tanya si penjual.

"Hehe.. Iya, Mas. Takut hipertensi."

"Ada diit yang lebih bagus dari sekedar ngurangin garam loh, Mbak," kata penjual itu lagi.

"Apa? Diit Keto? Iih.. ga berani, ah."

"Bukan."

"Terus? Diit apa, Mas?"

"Ngurangin ngomongin orang, Mbak. Mengurangi memakan bangkai saudara sendiri. Kan ghibah itu seperti memakan bangkai saudara kita sendiri katanya, Mbak."

Aku tak bisa menahan tawaku. Kamu langsung diam dengan wajah manyunmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil