Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Sedang Kasmaran

Gambar
  “Kamu lagi kasmaran?”   Membaca komentar itu di salah satu status saya di facebook kemarin, saya hanya bisa tersenyum. Dia tidak salah. Saya memang sedang kasmaran. Saya sedang kasmaran dengan Tuhan. Saya jatuh cinta pada Alloh. Semuanya berawal dari obrolan sore bersama Rifa, sahabat saya di kantor beberapa hari yang lalu. Sore itu kami membahas hampir semua hal, tentang pekerjaan, tentang hidup, dan tentang si Empunya hidup. Ada satu kalimat yang dia ucapkan yang menjadi hantaman besar bagi saya, “Gimana kita bisa nggak cinta sama Alloh coba?”   Saya sebenarnya malu sewaktu mendengar Rifa mengatakan hal itu. Membuat saya merasa bahwa saya ini manusia yang sangat tidak tahu diri. Saya sudah selalu diberi apa yang saya butuhkan tapi saya masih saja susah sekali untuk memenuhi kewajiban tepat waktu. Masih malas sekali untuk melakukan apa-apa yang harus saya lakukan untukNya. Ya, saya tahu Alloh tidak membutuhkan saya. Ketika saya tidak melaksanakan semua kewajiban untu

Bangku Kosong

Gambar
Beberapa orang mungkin berpikir saya akan menceritakan tentang cerita horor sewaktu membaca judul postingan ini. Tapi, bukan. Tenang saja. Saya tidak memiliki keahlian menulis cerita horor. Jadi saya tidak mungkin menuliskan tentang cerita horor. Postingan saya kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan horor, hantu, setan, dan sejenisnya.     Semenjak awal minggu ini, saya dipaksa oleh Supri (sepeda motor saya) untuk jalan kaki ke kampus. Sejak Senin pagi, dia sama sekali tidak mau menyala. Salah saya juga sebenarnya. Saya kurang memperhatikan kondisi kesehatan sepeda motor berwarna hitam itu. Sudah sebulan ini dia memang sering tidak mau dinyalakan lewat stater otomatis. Seharusnya sejak saat itu saya tahu bahwa Supri sudah minta ganti aki. Yah, tapi karena memang saya ini sering menyepelekan hal-hal seperti itu, saya menunda membawanya ke bengkel. Selama dia masih bisa menyala, saya tidak merasa harus membawanya ke bengkel. Alhasil, hari Senin pagi si Supri benar-be

il Mare

Gambar
    Nama cantik ini lagi-lagi saya kenal dari teman yang sama yang telah memperkenalkan petrichor pada saya. Perlu tidak ya saya sebutkan namanya? Ah, sepertinya tidak. Jika nanti dia membaca postingan saya ini, saya yakin sekali dia tahu bahwa dia yang saya maksud. Dia, orang yang banyak sekali memberikan inspirasi pada saya. Dia yang dulu pernah hidup bersama saya di bawah satu atap sekolah menengah selama tiga tahun tetapi saya lewatkan begitu saja. Baru bertahun-tahun kemudian, yang saya lupa karena apa, saya dipertemukan kembali dengannya. Tapi, memang hidup seperti itu ya? Kadang aneh.   Well, kembali ke topik utama. Il mare . Nama yang begitu cantik, secantik rupanya. Saya sudah lama sekali jatuh cinta padanya karena hanya dengan duduk diam memandanginya saja, rasanya semua sampah di dalam pikiran dan perasaan saya menguap.   Tapi sebenarnya lebih menyenangkan lagi ketika saya bisa menjejakkan kaki di atas pasir yang seolah menghisap saya dan membiarkan air asinnya

Tentang Aksi, Tentang Reaksi

Gambar
Jika saya tidak salah ingat, saya mendapatkan pelajaran tentang hukum aksi-reaksi di kelas satu SMA, di mata pelajaran Fisika. Seingat saya, Pak Guru yang mengajar mata pelajaran itu menggambarkan sebuah kotak besar di papan tulis dengan tanda-tanda panah di atas dan di bawahnya yang menunjukkan besaran gaya dan entah apa lagi. Jujur saja, otak saya ini tidak pernah bisa menyerap ilmu Fisika dengan baik semenjak dulu. Setiap kali membaca soal fisika, mesin-mesin penggerak berpikir saya sepertinya langsung berhenti. Makanya, sebenarnya saya ini termasuk beruntung ketika bisa lulus dari kelas IPA di SMA dulu. Saya sebenarnya tidak sedang ingin membahas tentang pelajaran fisika itu sendiri. Yang ingin saya bahas adalah hukum fisika itu, gaya aksi reaksi. Newton menjelaskan bahwa akan ada reaksi yang muncul dari setiap aksi yang mengenai suatu benda dan besarnya gaya reaksi ini akan sama besar dengan gaya aksi yang menimbulkannya. Dulu saya pikir, ini hanya ada di dalam pelajaran

Bulan Separuh

Gambar
  Siapapun yang pernah membaca tulisan saya di note facebook pasti sudah bisa menebak bahwa salah satu benda yang saya sukai adalah bulan separuh. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja saya menyebutkan bulan separuh di dalam cerpen-cerpen yang saya tulis. Sering. Malah mungkin terlalu sering.   Teman saya pernah mengatakan kepada saya, “Apa sih bagusnya bulan separuh? Cacat!”   Ya, apa ya bagusnya bulan separuh? Secara bentuk, tentunya dia kalah bagus jika dibandingkan dengan bulan purnama atau bulan sabit. Secara sinar, tentunya dia kalah jauh dengan bulan purnama. Tapi bagi saya, tidak ada bulan yang lebih cantik dari bulan separuh.   Bulan separuh mengajarkan kepada saya bahwa kesempurnaan yang sebenarnya itu hanya milik Tuhan. Saya rasa sangat lucu ketika ada manusia yang mengejek dan menjelek-jelekkan manusia lain karena dianggap tidak sempurna. Saya juga merasa sangat lucu ketika ada manusia yang terus berusaha mencari pasangan hidup yang sempurna. Lu

Menjilbabi Hati Itu Nanti Saja Dulu

Gambar
Islam? Iya. Saya terlahir beragama Islam. Tetapi, terlahir dalam keluarga yang terdiri dari beragam agama, saya tidak pernah memiliki motivasi diri untuk mempelajari ilmu agama lebih mendalam. Bagi saya, yang penting menjalankan sholat, itu sudah Islami. Berjilbab itu nanti saja kalo sudah tua dan bisa naik haji.   Apalagi semasa saya masih kecil sampai remaja, perempuan yang memakai jilbab di lingkungan saya masih bisa dihitung jari dan dianggap ‘ nggak gaul’ .   Sebenarnya, saya mulai memiliki keinginan untuk memakai jilbab ketika sama masuk SMA. Di sekolah saya, walaupun sebenarnya adalah sekolah negeri, nuansa Islamnya terasa sangat kental. Kegiatan-kegiatan keagamaan sangat didukung oleh pihak sekolah. Di sana saya bertemu teman-teman sebaya yang sudah berjilbab dengan benar. Hasil pertemanan itulah yang membuat saya mulai ingin berjilbab. Tetapi waktu itu keinginan saya hanya sekedar keinginan. Saya belum memiliki kemantapan hati. Saya merasa masih belum pantas memakai jil

Bangga

Gambar
“Pokoknya kamu harus daftar ke SMA yang mama pilih itu!” kata mama dengan nada yang agak tinggi. “Ma, Lira nggak akan mampu mengikuti pelajaran disana. Mama kan tau sendiri, nilai Lira saja tidak cukup untuk masuk ke sana.” “Mama sudah atur semuanya. Pokoknya kamu harus masuk ke sana dan masuk ke kelas internasionalnya. Mama sudah siapkan uangnya.” Lira menatap mamanya bingung. “Uang? Uang apa, Ma?” “Ya uang buat masukin kamu ke sana.” “Tap…” “Kamu itu kenapa sih nggak bisa kayak kakak kamu? Susah banget cuma disuruh nurut aja. Lihat kakak kamu itu sekarang. Lihat hasilnya kalo nurut sama mama, sekarang dia sudah kerja jadi PNS, sudah bisa ngasih duit yang banyak ke mama!” “Tapi…” “Sudah. Kamu itu nurut aja. Mau ditaruh dimana muka mama kalo kamu nggak bisa masuk ke sekolah itu. Anak temen-temen mama kan pada sekolah di sekolah elit itu. Mama kan malu kalo sampai tidak bisa menyekolahkan kamu disana.” Rasa kesal merambati hati Lira. Dia tidak ingin dan tidak pernah

Meluruskan Niat

Gambar
Kata orang, hasil akhir dari semua tindakan itu berakar pada niat awalnya. Niat, kata yang berasal dari bahasa Arab Niyyatu artinya berkehendak, mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Saya dulu tidak terlalu ambil pusing dengan kata-kata itu. Bagi saya niat tidak terlalu penting. Hidup cukup dijalani saja apa adanya. Tetapi semenjak saya mulai memasuki dunia kerja, saya benar-benar merasakan, mengalami, dan menyaksikan sendiri bahwa semua hasil dari tindakan benar-benar tergantung pada niatnya.   Akhir-akhir ini saya mulai merasa risih ketika mendengar ada orang tua yang ketika akan berangkat bekerja berpamitan kepada anaknya yang masih kecil dengan berkata, “Ayah pergi bekerja dulu ya? Kalo ayah bekerja nanti ayah dapat uang untuk membelikan susu adik”. Ya, seringkali orang tua memberikan penjelasan kepada anaknya bahwa mereka bekerja agar mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apa itu salah? Tidak. Tentu saja tidak. Karena pada kenyataannya