Bangga

“Pokoknya kamu harus daftar ke SMA yang mama pilih itu!” kata mama dengan nada yang agak tinggi.

“Ma, Lira nggak akan mampu mengikuti pelajaran disana. Mama kan tau sendiri, nilai Lira saja tidak cukup untuk masuk ke sana.”

“Mama sudah atur semuanya. Pokoknya kamu harus masuk ke sana dan masuk ke kelas internasionalnya. Mama sudah siapkan uangnya.”

Lira menatap mamanya bingung.

“Uang? Uang apa, Ma?”

“Ya uang buat masukin kamu ke sana.”

“Tap…”

“Kamu itu kenapa sih nggak bisa kayak kakak kamu? Susah banget cuma disuruh nurut aja. Lihat kakak kamu itu sekarang. Lihat hasilnya kalo nurut sama mama, sekarang dia sudah kerja jadi PNS, sudah bisa ngasih duit yang banyak ke mama!”

“Tapi…”

“Sudah. Kamu itu nurut aja. Mau ditaruh dimana muka mama kalo kamu nggak bisa masuk ke sekolah itu. Anak temen-temen mama kan pada sekolah di sekolah elit itu. Mama kan malu kalo sampai tidak bisa menyekolahkan kamu disana.”

Rasa kesal merambati hati Lira. Dia tidak ingin dan tidak pernah ingin masuk ke sekolah itu, apalagi dengan cara yang tidak semestinya seperti itu.

“Buatlah mama bangga sekali saja.”

Air mata Lira hampir tumpah. Dia buru-buru berdiri, meninggalkan makan malamnya yang belum habis dan dengan cepat melangkah ke dalam kamar.

Lira menutup pintu kamarnya. Untuk sesaat, dia berdiri di belakang pintu yang tertutup itu, menghela napas, sebelum kemudian menjatuhkan diri ke atas kasur busa yang ada di dalam lantai kamarnya.

They’re gonna clean up your look with all the lies in the books to make a citizen’s out of you...

Dengan sengaja Lira menyalakan pemutar CD-nya keras-keras, berusaha menghapus suara-suara mama yang menggema di kepalanya dengan suara Gerard Way, penyanyi di band favoritnya, My Chemical Romance. Tapi ternyata hal itu tidak mudah dilakukan. Kata-kata mama yang membuatnya terluka, sedih, dan malu itu ternyata tidak mau pergi dari kepalanya.

***

Lira hanya melirik sewaktu Leo, kakaknya, pulang dengan beberapa tas belanjaan. Mama, yang tadinya menonton televisi dengan Lira, langsung berdiri, mendatangi Leo dan belanjaannya.

“Apa ini, Le?”

“Cuma oleh-oleh sedikit, Ma. Buat mama, nih.” Leo mengeluarkan sebuah kotak berisi jam tangan wanita yang cantik sekali.

“Waah, bagus banget, Le.” Kedua mata mama seolah tidak akan mau lepas dari jam tangan itu. “Memangnya kamu habis gajian?” tanya mama sambil mencoba jam tangan barunya.

“Ah, nggak. Tadi Leo dapat duit dari atasan. Katanya bonus.”

“Hah,” cibir Lira tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Lira tidak pernah habis pikir kenapa mama tidak pernah mempertanyakan tentang uang bonus yang diterima kakaknya setiap bulan, tentang darimana uang itu, tentang kenapa kakaknya mendapatkan uang itu, tentang bagaimana bisa setiap bulan mendapat bonus dan bisa membelikan mama barang-barang mahal.

“Lira!” panggil mama dengan nada peringatan. “Kamu itu kenapa sih nggak pernah seneng kalo Leo kasih hadiah ke mama? Pasti kamu selalu memberikan nada itu.”

“Udahlah, Ma.” Leo menengahi. Dia mengeluarkan sebuah kotak sepatu. “Ini juga buat mama,” kata Leo kemudian.

“Liat ini, Lira. Contohlah kakak kamu ini. Dia itu penurut, nggak suka membantah mama dan sekarang dia sudah bekerja dan punya banyak uang.”

Dada Lira sesak oleh rasa kesal. Dia bangkit dari sofa yang semenjak tadi dia duduki, melangkah dengan cepat ke dalam kamar dan mengunci pintu.

“Lira! Mama sedang bicara sama kamu!”

Lira menutup pintu kamarnya lalu menjatuhkan diri ke kasur.

“Sudahlah, Ma. Nggak usah dipikirin.”

Lira mendengar suara Leo yang berusaha menenangkan mama.

“Mama lama-lama nggak tahan sama adik kamu itu, Le.”

Pandangan Lira mulai kabur mendengar kata-kata mama barusan.

***

Berkali-kali Lira menghela napas. Dia sebenarnya tidak begitu suka ikut acara arisan. Tapi demi mengantarkan mama tercinta, dia rela berbosan-bosan mendengar obrolan teman-teman mama yang temanya tidak pernah keluar dari pameran uang, harta, dan tetek bengeknya.

“Kemarin itu saya kaget loh waktu suami saya pulang, Jeng,” kata Bu Yuti memulai obrolan. Suaranya terdengar jelas dari meja tempat Lira duduk walaupun dia sudah memilih tempat yang agak jauh dari kumpulan ibu-ibu itu.

“Kenapa memangnya, Jeng?” Mama menanggapi.

“Tiba-tiba dia pulang bawain saya kalung baru ini.” Bu Yuti memamerkan kalung berbandul berlian yang melingkar di lehernya.

Ibu-ibu yang lain langsung mendekati Bu Yuti, berusaha melihat kalung itu lebih dekat.

Lira menghela napas lagi. Dia mengangkat gelas dari meja dan meneguk separuh isinya.

“Jeng, anaknya Jeng Wulan yang gedhe kerja dimana?” Bu Yuti mengubah topik pembicaraan.

“Di kantor dinas Y, Jeng. PNS dua taun lalu.”Ada raut kebanggaan di wajah mama ketika menceritakan Leo, kakak Lira, membuat Lira menghela napas lagi. “Waktu itu saya bingung banget loh, Jeng. Lha harus mbayar seratus juta.”

Ada senyuman pahit di wajah Lira. Walaupun kata-katanya seolah mengeluh, tapi toh Lira masih bisa mendengar nada pamer dalam suara mama sewaktu menyebutkan seratus juta.

“Tapi, apa sih yang nggak saya kasih buat anak.” Mama melanjutkan.

“Iya, Jeng. Saya ngerti kok. Tapi kalo mengingat suami Jeng Wulan yang sudah jadi kepala dinas X itu ya saya nggak percaya kalo Jeng nggak bisa ngeluarin duit segitu. Pasti duit segitu kecil buat Jeng Wulan dan suami.” Bu Nanik, yang duduk di sebelah mama Lira, mencoba mengangkat kebanggaan mama.

“Ah, Jeng Nanik ini bisa saja.” Mama tertawa kecil, membuat Lira semakin muak.

“Eh, Jeng Wulan, gimana si Lira jadi masuk SMA favorit itu?”

Lira kembali memasang telinganya demi mendengar namanya disebut.

“Iya. Kemarin sudah daftar ulang.” Mama nampak bangga ketika menjawab pertanyaan temannya itu.

Lagi-lagi Lira mengehela napas. Dia jadi ingat pertengkaran dengan mamanya beberapa waktu lalu.

“Habis berapa, Jeng?” tanya seorang ibu-ibu yang Lira tidak tahu namanya, yang duduk di hadapan mama, dengan tatapan tahu sama tahu.

“Ah, nggak banyak kok. Saya cuma beliin lima belas unit komputer buat sekolah,” jawab mama, masih nampak bangga dengan apa yang dikatakannya.

“Wah, berarti belum naik ya?” Ibu-ibu yang bertanya pada mama tadi lantas tertawa kecil. “Saya waktu masukin si Dika juga kira-kira segitu.”

Ada suara tawa dari ujung meja yang ditempati mama dan teman-temannya. Seorang wanita setengah baya dengan gaya berdandan yang sangat biasa, tidak seperti peserta arisan lainnya, nampak tertawa geli. Semua orang langsung menoleh kepadanya, termasuk Lira.

“Kenapa, Jeng Tati? Kok tiba-tiba tertawa?” Salah seorang teman mama yang Lira lagi-lagi tidak tahu namanya, bertanya penasaran.

“Nggak. Haha,” jawab Bu Tati masih sambil tertawa. “Lucu saja mendengar cerita-cerita kalian. Haha..”

“Lucu?” tanya hampir semua peserta arisan berbarengan.

“Iya. Kalian ini semua kelihatan banggaaaaa sekaliiiiii.” Bu Tati lantas tertawa lagi. “Orang melanggar aturan kok bangga. Bikin dosa kok bangga. Nyogok kok bangga. Dibeliin barang dari duit hasil korupsi kok bangga.”

Lira melihat wajah-wajah yang duduk di meja panjang tak jauh darinya itu, termasuk mamanya, berubah. Rasa bangga dan senang yang menghiasi wajah mereka langsung surut, berganti dengan rasa malu yang dengan cepat berubah menjadi amarah, sebuah pertahanan diri yang biasa dimiliki oleh seseorang yang tidak bisa menerima bahwa diri mereka salah.

“Jeng Yuti, suami jeng itu PNS golongan berapa sih?”

“Jeng, saya rasa hal itu tidak sopan untuk ditanyakan!” Bu Yuti nampak kesal.

“Kenapa? Kita semua yang di sini kan juga pengen tahu.” Bu Tati menatap tajam ke Bu Yuti.

Tidak ada jawaban dari Bu Yuti, dia malah membuang muka, enggan menatap Bu Tati.

“Ya sudah kalo tidak mau menjawab. Nggak pa-pa.” Bu Tati tersenyum. “Sekarang coba Jeng Yuti hitung, kira-kira kalo suami Jeng nggak korupsi, cukup nggak buat memenuhi gaya hidup mewah Jeng Yuti? Cukup tidak setiap bulan untuk membeli perhiasan berlian, handphone mahal, membayar arisan yang sebulan satu juta ini, dan membayar kebutuhan sehari-hari?”

Semua peserta arisan terdiam, menatap Bu Tati dan Bu Yuti bergantian.

“Kurang ajar! Jeng Tati ini benar-benar tidak sopan! Suami saya tidak mungkin korupsi!”

“Oke. Melihat barang-barang mewah yang selama ini selalu Jeng Yuti pamerkan di sini, hanya ada dua kemungkinan yang membuat hal itu mungkin. Pertama, suami Jeng Yuti korupsi. Kedua, benda-benda itu bukan punya Jeng Yuti.”

Bu Yuti berdiri. “Cukup! Saya tidak terima diperlakukan seperti ini! Jeng Wulan, anda sebagai ketua di sini harus mengambil keputusan tegas, mau mempertahankan saya yang sudah lama ikut arisan ini atau mau mempertahankan dia!” Bu Yuti menunjuk ke arah Bu Tati yang masih saja tertawa di ujung meja.

Mama Lira nampak bingung, memandang Bu Tati dan Bu Yuti bergantian sampai akhirnya ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf, Jeng Tati. Anda dikeluarkan dengan tidak hormat dari arisan ini.”

Ada tawa yang keluar dari Bu Tati lagi. Dia berdiri, menatap mama Lira sambil tersenyum. “Saya juga nggak butuh arisan ini kok, Jeng. Nambah dosa aja ikut di sini. Oiya, Jeng. Lain kali jangan cerita ke siapa-siapa kalo Jeng ini menyogok panitia CPNS sebanyak seratus juta dan menyogok panitia penerimaan siswa baru dengan 15 unit komputer. Apalagi cerita dengan bangga kayak tadi. Hati-hati, dinding-dinding yang kelihatan mati ini punya telinga. Hahaha. Mau jadi apa negara ini kalo ibu-ibunya seperti kalian?” Bu Tati melangkah meninggalkan meja itu sambil dihujani tatapan mata tak percaya dari anggota arisan yang masih tersisa.

Lira, yang dari tadi ikut melihat kejadian itu merasa senang sekali. Dia buru-buru berdiri dan menyusul langkah ringan Bu Tati.

“Bu Tati, tunggu,” panggil Lira.

“Ya?” Bu Tati nampak bingung ketika Lira menghentikan langkahnya.

“Maaf. Tadi saya ada di dalam. Nama saya Lira.”

“Iya?”

“Saya ingin berterimakasih pada ibu. Ibu sudah mengeluarkan semua kata yang selama ini hanya bisa saya simpan di kepala saya, yang selama ini tidak pernah berani saya sampaikan kepada mama saya dan teman-temannya di dalam sana.”

Lira melihat Bu Tati tersenyum.

“Tapi saya sedih ibu harus dikeluarkan dari arisan.”

“Ah, tidak apa-apa. Kita juga nggak akan dapat apa-apa di sana. Saya justru akan sangat sedih dan menyesal kalo tidak bisa menyampaikan apa yang ada di kepala saya.”

Bu Tati menepuk bahu Lira. “Saya senang ada anak muda yang bisa melihat dari sisi yang benar. Semangat ya? Perjuangan kamu akan berat tapi akan sangat menyenangkan.”

Lira melihat senyuman Bu Tati lagi sebelum kemudian dia meninggalkannya.

***

Lira membuka matanya dan menemukan mama duduk di kursi di hadapannya.

“Mama?” tanya Lira kaget. “Ada apa?”

“Mama nggak bisa tidur. Kepikiran kejadian di arisan tadi. Gimana kalo ada anggota KPK yang denger? Gimana kalo mama dipenjara?”

Lira berbalik, menutup kepalanya dengan selimut.

“Lira, dengerin mama dulu, dong. Mama jadi mikir. Kakak kamu itu dapet duit banyak darimana ya? Jangan-jangan itu duit panas ya? Aduh… padahal mama sudah terlanjur pake duitnya… sudah habis banyak. Gimana, dong?”

Lira menutup matanya. Ada senyuman lebar di wajahnya. Tamat (21 Desember 2010)


Gambar didapatkan dari www.vummidi.com
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil