Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Cinta yang Sesungguhnya

Gambar
eatingasia.typepad.com "Apa coba bagusnya? Tak ada yang istimewa. Hanya sebuah satelit yang mengorbit bumi yang bahkan tak bisa menghasilkan cahaya sendiri. Yang bahkan tak punya keberanian untuk mengambil langkah sendiri. Ke mana pun bumi pergi, yang bisa dia lakukan hanya mengikuti." "Bukannya itu yang namanya cinta?" "Cinta? Cinta macam apa itu?" "Cinta yang sesungguhnya, yang penuh kepasrahan, yang penuh kepatuhan." "Cinta yang penuh kebodohan!" "Benarkah?" "Lalu apa namanya kalau bukan bodoh?" "Kau mematuhi aturan tuhanmu?" "Pastinya!" "Nabimu?" "Tentu saja! Tentu saja kuikuti semua tuntunannya, kujalani aturannya, kujauhi larangannya..." "Mematuhinya?" "Ya." "Setia pada mereka?" "Tentu saja." "Mengapa?" "Karena aku percaya mereka benar!" "Hanya itu?" "Kare

Mengapa Aku Tak Boleh Membenci?

Gambar
Aku tak bisa menahannya lagi. Rasa kesal yang menumpuk sejak beberapa hari ini dan bayangan tentang manusia-manusia menyebalkan itu akhirnya menumpahkan tangisku. “Lelah?” tanyanya. Aku menghapusi air mata yang semenjak tadi terus saja menetes, lalu memaksakan sebuah senyuman dan menggeleng. “Tidak,” kataku. “Kamu boleh merasa lelah. Itu manusiawi. Kamu boleh mengeluh. Itu juga manusiawi.” Dia tersenyum padaku. “Tapi?” tanyaku, mempertanyakan nada di akhir kata-katanya tadi. Aku tahu, dari nada yang tergantung itu, ada yang belum dia katakapan padaku. “Tapi kamu tak boleh menyerah.” Aku mengulum senyuman. “Ya. Aku tahu. Tenang saja. Aku tak akan menyerah. Aku bahkan tak lelah.” “Tapi?” Dia balik mempertanyakan nada akhir kata-kataku. “Tapi aku hanya jengah.” Dia tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku tahu dia paham apa yang kurasakan. Dia selalu paham. Dia maha paham. “Ya, kamu tak boleh menyerah.” Dia mengulangi kata-katanya.

Sewajarnya Saja

Gambar
www.dailymail.co.uk Tentang cerita seorang laki-laki pemberani yang telah menghadang konvoi dan dunia di sekitarnya yang begitu gemar berkomentar. Kata Ibuk, "Sewajarnya saja. Segalanya, cukup sewajarnya saja." Mencintai? Sewajarnya saja. Karena suatu hari bisa jadi kita akan membenci. Membenci? Sewajarnya saja. Karena kita tak tahu, mungkin nanti kita justru ganti mencintai. Rasa bangga? Sewajarnya saja. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka yang sekarang mengelu-elukan, tak akan perlu waktu lama untuk meninggalkan. "Memang keren! Berani menghentikan konvoi!" atau "Pemberani! Hebat sekali!" Percayalah. Mereka hanya berani menuliskannya di sosial media. Hanya sesaat saja. Jika nanti ada apa-apa, entah mereka menghilang ke mana. Tapi sama saja dengan para pembenci. "Ini ada konvoi lagi, kampanye partai yang melanggar peraturan, ribut sekali. Coba hentikan kalau berani!" tulisnya, membuatku geli. Mengapa menantang or

Berkah

Gambar
myblogsantai.blogspot.com Aku menghempaskan tubuhku dengan kesal ke atas kursi tamu empuk di depan ruang kepala bagianku. Hari sudah menjelang malam sewaktu aku keluar dari ruangan menyebalkan itu. Ya, menyebalkan. Ruang itu diisi oleh manusia paling menyebalkan sedunia. Manusia egois yang seenaknya saja memotong pendapatan orang lain. “Masak egois?” tanya suara dari sisiku, seolah bisa membaca isi kepalaku. “Apa lagi namanya kalau bukan egois? Gaji itu kan hakku. Tunjangan kinerja itu kan juga hakku. Punya hak apa dia memotong pendapatanku seperti itu?” “Bukannya aturannya memang seperti itu? Ketika kamu tak masuk kerja tanpa keterangan, ada sanksinya, kan?” “Siapa bilang aku tak masuk kerja, hah? Aku masuk kerja!” “Itu kan katamu. Atau, yah, baiklah. Kamu memang masuk kerja. Tapi pukul berapa kamu datang dan pukul berapa kamu pulang? Sesuai tidak dengan aturan?” tanyanya. Aku diam. “Kau tahu kan bagaimana peraturannya? Bagaimana perhitungan keterl

Aku Menanti Hujan Turun

Gambar
koleksi pribadi - Taman Nukila, Ternate, 23 Agustus 2015 Dituliskan dalam rindu yang menggenang. Aku menanti hujan turun. Waktu di mana langit berubah kelabu dan udara beraroma sendu. Saat di mana semua hal seolah berkolaborasi untuk mengaduk-aduk segala rasa,          lalu menuangkan rindu ke dalamnya. Ternate, 24 Agustus 2015

Melepaskanmu Pergi

Gambar
www.shutterstock.com #Lintang Kapal yang kutumpangi mulai menjauhi pelabuhan. Perlahan. Sama seperti rasa teriris di dalam hatiku. Perlahan, sedikit demi sedikit, begitu menyakitkan. Kupikir semua kata yang kau katakan itu benar. Kupikir semua kata-kata sayang yang selalu kau berikan padaku itu benar. Kupikir apa yang kurasakan dan kupikirkan tentang kau mencintaku itu benar. "Jika aku memilih pergi dan tak kembali ke sini, akankah kamu melepasku pergi?" tanyaku setelah mengumpulkan kekuatan, setelah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan memilih kata untuk kuucapkan. "Tentu saja aku akan melepaskanmu pergi." Kata-kata itu begitu ringan meluncur darimu. Begitu ringan, begitu cepat, secepat rasa sakit yang dibawanya muncul di hatiku. Tak ada kata-kata lagi. Aku segera berdiri dan melangkah pergi, menyeret langkahku melewati ruang tunggu penumpang dan langsung naik ke atas kapal yang akan membawaku pergi. Padahal aku tak

Menuliskan Dusta

Gambar
hollykays.com “Aku kemarin membaca buku, bagus, dan semalaman aku kepikiran terus,” katanya sewaktu aku sedang berusaha merapikan tumpukan berkas di antara waktu jeda mengurusi laporan kegiatan. “Tentang apa?” tanyaku sambil lalu, sambil memilah-milah berkas, hanya sesekali menoleh pada laki-laki yang mejanya ada di seberang meja kerjaku, terpisah oleh udara beberapa depa. “Tentang sudah sesuaikan gaji yang kita terima ini dengan pekerjaan yang kita lakukan.” Awalnya aku berpikir bahwa obrolan ini hanyalah lanjutan dari obrolan kami tentang rejeki. Beberapa hari sebelumnya kami memang mengobrolkan tentang persepsi kami mengenai rejeki. Tapi ternyata aku salah. Ternyata dia tidak sedang membahas itu. “Sekarang, coba kita hitung-hitung ulang. Menurutmu, gaji yang kamu terima setiap bulan itu sudah sesuai belum dengan pekerjaan yang kamu lakukan?” “Caranya tahu atau tidak bagaimana?” tanyaku bingung. “Ya coba saja kamu buat daftar pekerjaan apa saja y