Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Curang!

"Kalo bisa sih jangan sama dia, deh?" "Kenapa memangnya?" "Agama dia kan berbeda dari kita." "Lantas?" "Ya kalo bisa cari teman yang seagama, lah." "Kenapa memangnya?" "Ya tak apa-apa, sih... Hanya saja...." "Apa?" "Udah, ah. Kamu ini." "Aku ini? Bukannya harusnya aku yang bilang begitu?" "Kok bisa?" "Iya, dong. Kan kamu kemarin mencak-mencak sewaktu lamaranmu ditolak karena masalah agama. Kamu bilang mereka SARA-lah, tidak adil, lah. Sekarang?" "Ya ini kan beda...." "Apa bedanya? Kamu kemarin bilang kan kalo negara ini didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya? Kamu bilang seharusnya setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama tanpa memandang latar belakang, termasuk agamanya, kan?" "..............." "Lalu?" "

Dengarkan Diri Kita

Ketika kemarin tetangga kita meninggal, apa yang kita katakan? "Semoga Tuhan mengampuninya"? "Semoga keluarganya diberi kekuatan dan ketabahan"? "Semoga dilapangkan kuburnya"? "Semoga diterima amal ibadahnya"? begitu? atau justru seperti ini? "Leukimia? Ah, dia sih dulu suka makan sembarangan. Gorengan lah, saus yang merah-merah itu lah, terus minum c**a c**la. Lengkap sudah! Kanker semua!" "Dia sih tak pernah jaga kesehatan." "Tau rasa dia sekarang. Itu azab. Dia kan suka menyakiti orang." "Salah sendiri dia makan-makanan tak sehat." Yang mana? Coba ingat-ingat lagi. Coba dengarkan diri kita lagi. Supaya kita tak kaget jika orang mengatakan hal yang sama sewaktu kita meninggal nanti.

Yang Terlewatkan

Isi kepala, berjubel sebenarnya. Menendang-nendang ingin dikeluarkan, berjatuhan dengan deras serupa hujan. Kemuakan pada dia yang merasa tahu segalanya dan tak pernah salah. Kegalauan tentang meninggalkan. Keinginan untuk tak lagi bertahan Kejenuhan pada rutinitas yang itu-itu saja. Kejemuan pada telinga-telinga yang seolah haus pada berita tentang aib dan kebencian,    serta mulut-mulut yang tak lelah memuntahkan kebencian yang sama. Ada. Banyak. Menumpuk. Tapi lagi-lagi hari-hari hanya terlewati. Tak tertuliskan, tak tersampaikan. Tak lagi berusaha mengadakan waktu untuk mengatakan kebenaran. Ah, entahlah. Berharap saja waktu masih akan ada,   agar bisa kutuliskan rasa dalam kata.