Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Juz Enam Belas

Gambar
"Saya suka kalo Ramadhan seperti ini." Seorang laki-laki setengah baya ikut duduk di lantai teras masjid bersama kita. Dia menyandarkan punggungnya di dinding bawah jendela. "Kenapa, Pakdhe?" tanyamu. "Suasananya itu menyenangkan, menenangkan, syahdu. Bisa lebih sering dengerin orang ngaji. Terus sepertinya di setiap tempat itu ada orang duduk, nunduk baca Al Quran." Kita sama-sama mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui kata-katanya. "Gimana, Le. Sudah sampai juz berapa ngajimu?" tanyanya padamu. Kamu tak menjawab, hanya tersenyum. Seolah malu untuk menjawabnya. "Tadi aku dengar kamu ngaji. Nggak papa. Walaupun baru sampe juz empat, itu udah pencapaian luar biasa hlo. Bersyukurlah kamu masih punya keinginan buat ngaji." Lelaki setengah baya itu tersenyum. Aku langsung menoleh padamu yang juga hanya tersenyum dan mengiyakan saja kata-katanya. Karena yang kutahu, kamu sudah mengkhatamkan bacaanmu di pertengahan minggu

Sebuah Foto Lama

Gambar
"Bantulah saudaramu berhijrah." Dia tersenyum setelah mengucapkan tiga kata itu. Aku menatapnya dengan bingung, tak paham dengan apa yang sedang dia berusaha sampaikan. "Itu." Dia menunjuk ponsel yang kupegang. Aku urung menekan tombol kirim pada laman facebook-ku, menunggunya menjelaskan. "Saudaramu itu kan sudah berhijrah sekarang. Dia sedang dalam usahanya memperbaiki diri. Jadi ada baiknya tidak lagi kau bagikan foto lamanya. Waktu itu kan dia belum menutup auratnya. Sekarang kan sudah. Kasihan dia jika auratnya terumbar di sosial media. Kasihan dia jika banyak lelaki yang bukan mahram melihatnya." Aku menarik napas panjang lalu melirik layar ponselku. "Ayolah. Bantu saudaramu. Ya?"

Selalu Ada

Gambar
"Kau masih saja selalu menunggunya seperti ini?" Kau menoleh padaku. Aku yang tanpa menunggu persetujuanmu, langsung ikut duduk di sisimu. Kepalamu terangguk. Lalu untuk sesaat tak ada lagi tanya. Tak ada jawab. Hanya ada kita dengan kedua mata menatapi hamparan langit yang diwarnai jingga dan sedikit biru. Sedikit kelabu. "Sedangkan dia tak selalu hadir," kataku kemudian. Kedua kakiku, sama denganmu, menggantung di udara, belasan meter dari tanah di bawah sana. "Tapi dia selalu ada." "Ada." Aku bergumam. Ada senyuman pahit di wajahku sewaktu kamu menoleh, menatapku. "Ada," kataku lagi, lebih jelas dari sebelumnya. "Bagaimana bisa kau begitu yakin? Padahal jelas-jelas dia tak selalu hadir. Kadang dia ungu, kadang kelabu, kadang bahkan gelap tak menyenangkan karena tertutup awan yang melahirkan hujan. Si Oranye yang selalu kau tunggu, yang kau tahu tak selalu datang." "Ada itu tak selalu harus bisa dilihat

Cuti Bersama Jilid II

Gambar
"Memang kok mereka itu zalim!" kata seorang laki-laki berkaca mata sebelum kemudian mengambil cangkir kopinya dan menyesap isinya. "Zalim kenapa?" tanya kawannya. "Cutiku tak disetujui sama mereka." "Cuti apa?" "Lebaran besok itu kan aku mau cuti. Mau pulang kampung aku." "Bukannya cuti bersama udah panjang banget ya?" "Ya kan tetap saja kurang lah." "Ya mau bagaimana? Aturannya gitu." "Aneh-aneh saja mereka itu. Bikin aturan sendiri, larang-larang hak orang. Zalim memang." "Wooo.. Tunggu, Masbro. Aturan itu bukan atasanmu yang buat. Itu ada di Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 87 tahun 2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan, dan Disiplin Kerja Bagian III, Disiplin Kerja, poin C: Cuti." "Masak?" "Kau tak tahu?" Ganti kawannya yang terkejut. "Aturan sudah ada sejak tahun 2005, terus sekaran

Ternyata Salah

Gambar
Image source: blogs.discovermagazine.com "Pake headset tuh nggak kayak gitu caranya," komentarku. Kamu menelengkan kepala, urung memasang penyumpal kuping yang sudah ada di tangan. "Emangnya gimana harusnya?" tanyamu. "Harusnya lewat atas. Jadi dilingkarin di belakang kuping gitu, biar ga gampang lepas." Aku mengambil milikku lalu memakainya dengan cara yang sudah kubaca di internet, memberikan contoh padamu. "Gini," kataku. "Ilmu dari mana itu?" tanyamu. "Ada di internet. Nggak cuman masalah ino, kok. Ternyata kita tuh selama ini melakukan beberapa hal dengan cara yang salah. Misalnya make bantal leher itu, ternyata harusnya dari depan, bukan dari belakang. Terus.... Bla.. Bla.. Bla.." Aku melanjutkan ceritaku panjang lebar. Kamu diam memperhatikanku, tak mengatakan apa-apa. Sesekali kepalamu terangguk-angguk paham. "Gituuu," kataku mengakhiri ocehan malam ini. Kamu tersenyum, menganggukkan

Candu

Gambar
Image source: pinterest "Jangan," katamu. "Berhenti di sini." "Aku bahkan belum memulai." "Aku tahu. Maka, berhenti di sini, kataku." "Mengapa?" "Karena rasa itu semanis madu. Kau tak mungkin tak akan menyukainya. Tapi rasa itu juga candu. Kau tak mungkin mudah melepaskan diri darinya. Padahal akan ada balasan pedih jika dipaksakan." "Tak apa. Aku rela asal..." "Aku tak rela." "Mengapa?" "Karena aku merasakan yang sama." "Lantas?" Aku bertanya heran. "Sekarang belum saatnya. Nanti. Jika Tuhan kita mengijinkan, akan ada saatnya kita diperbolehkan mencecap rasa yang sebenarnya, yang tetap semanis madu rasanya, tapi tak perlu kita takut tentang balasannya." "Kapan?" "Jika Tuhan kita mengijinkan, aku ingin secepatnya. Nanti aku datang dan memgucap qobul atas namamu secepatnya. Kau mau menantiku bukan?"

Malam

Gambar
"Tarawih di mana?" "Di rumah aja." "Nggak ke masjid? Mayan loh pahalanya kalo jamaah." "Perempuan itu sholatnya lebih utama di rumah. Udah malem juga soalnya." "Iya sih..." "Tapi?" "Tapi malu nggak sih sama Alloh?" "Malu kenapa?" "Kalo disuruh dateng ke masjid malem, kita bersembunyi di balik alasan itu. Alasan yang disampaikan kepada kita untuk menjaga keamanan dan keselamatan kita." Perempuan itu mengambil jeda, membiarkan perempuan yang duduk di hadapannya meraih gelas kopi lalu menyeruput isinya. "Padahal walaupun lebih utama di rumah, tapi para lelaki kita diminta untuk tak menghalangi jika kita minta untuk sholat di masjid," lanjutnya. "Padahal kalo nongkrong ke kafe aja sampe tengah malem kita ngerasa nggak ada masalah," lanjutnya lagi. Kopi yang ada di dalam mulut itu mendadak hampir tersembur keluar

Nasihat Tentang Sebuah Nasihat

Gambar
source: http://www.istockphoto.com "Katanya orang beragama, kok kayak gitu?" Ada senyuman di wajah laki-laki itu. Perempuan yang duduk di salah satu kursi pelanggan itu memandangnya dengan bingung. "Kayak gitu gimana?" "Itu." Laki-laki itu melirik ke arah ponsel yang ada di genggaman tangan si perempuan. Perempuan itu masih saja tak paham, masih saja mengerutkan dahi. Jadi akhirnya si laki-laki meletakkan cangkir kopinya, menarik kursi, lalu duduk di hadapan perempuan itu. "Aku barusan baca tautan yang kamu bagi," kata si lelaki. "Terus? Ada yang salah?" kata si perempuan. Laki-laki itu mengangkat kedua alisnya. "Menurutmu bagaimana?" "Nggak ada yang salah kayaknya." "Ya, aku tahu tujuanmu baik. Aku yakin." "Tapi?" "Tapi, jujur saja. Aku tak setuju dengan cara seperti itu." "Seperti itu bagaimana?" "Menasihati orang di ruang terbuka. Media s

Sajadah

Gambar
"Ayo cepet! Udah adzan ituu.." "Iya. Bentar. Aku ambil sajadah." "Udahlah. Ga usah bawa sajadah segala. Kan ada karpet di masjid." "Kalo ga dapet...." "Kalo sampe ga dapet bagian karpet, yang laen kan pada bawa sajadah. Pasti ada yang minjemin laah. Ga usah khawatir!" "Bukan. Kalo sampe ada yang ga dapet bagian karpet, kan nanti sajadahnya bisa kita pinjemin." #Sajadah #Mental

Televisi

Gambar
"Akhirnya televisiku kujual." "Kenapa?" "Lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya." "Begitu ya?" "Iya. Coba saja kau lihat. Dari pagi sudah diisi acara gosip selebritis. Kalo tidak, acara musik tak jelas, yang pembawa acaranya becanda tak jelas, sering saling menghina. Menghina fisik lagi. Sama sekali bukan contoh yang baik untuk anak-anakku. Kalo tidak, ya sinetron. Tak mendidik juga. Anak sekolahan kok kelakuannya kayak gitu. Atau kalo tidak, sinetron india. Isinya tak jauh berbeda, tentang kehidupan orang-orang kaya. Kalo tidak, ya.... Bla.. Bla...bla..." "Hmm.. Bagus juga usahamu." "Iya. Tak bagus anak-anak tumbuh bersama televisi." "Bisa jadi." "Itulah. Makanya tak perlu lah ada televisi di rumah." "Tapi..." "Tapi apa?" "Tapi apa gunanya kamu jual televisimu, tak kamu perbolehkan anak-anakmu tumbuh bersama televisi. Tapi di rumahmu kamu p

Tak Ada Hati

Gambar
"Tunggu.. Tunggu...," katamu tiba-tiba, memotong keluhanku. "Kau bilang, kau ingin menulis tentang apa?" "Cinta. Aku ingin menulis tentang cinta." "Cinta, kau bilang?" Lalu kamu tergelak. Tawamu keras memenuhi ruangan, bahkan memasuki ruang kosong di dalam kepalaku. "Mana bisa kau menulis cinta? Sedangkan hati saja kau tak ada. Hahahaha... Kau itu cuma sebuah boneka. Hahahaha..." Aku disesaki rasa tak menyenangkan. Panas. Membuatku menegakkan kepala, menatap wajah yang tengah tertawa di hadapanku sana. Lalu, tanpa bisa kutahan, aku meraihnya, memberengut dengan sebelah tangan, menjatuhkannya dari atas meja, membiarkannya terjatuh membentur lantai lalu pecah berkeping-keping. "Tak punya hati kau bilang?" tanyaku dengan keras. "Bagaimana mungkin aku ini tak punya hati sedangkan aku padamu selalu disesaki oleh rasa benci?" teriakku pada pecahan cermin yang terberai di lantai itu. Photo source: http:/

Prioritas

Gambar
source: tumblr Brak!!! Aku bukan satu-satunya orang yang menoleh sewaktu mendengar suara yang cukup keras itu. Beberapa pengunjung kedai juga ikut menoleh pada sumber suara. Seorang perempuan. Dia baru saja membanting ponselnya ke atas meja dengan kesal. "Maaf." Perempuan lain yang duduk semeja dengannya langsung memasang senyuman dan meminta maaf kepada semua kepala yang menoleh pada mereka. Lalu kepala-kepala itu mulai berpaling dari mereka. "Kenapa lagi, sih?" "Orang kantor nih. Nyebelin bener." "Nyebelin gimana?" "Udah tau punya kerjaan kelompok. Tadi siang nggak tau dia di mana, nggak dateng. Kutelponin ga diangkat. Terus kan akhirnya aku sms. Nggak dibales juga. Sampe sekarang. Tapi ini barusan bisa dia apdet status." "Ya mungkin dia nggak ada pulsa sms." "Tapi kan pulsa internet. Kenapa ga whatsapp atau bbm aja?" Perempuan itu mengangkat bahu. "Lagi-lagi sebenernya emang tentan

Takjil Gratis

Gambar
source: http://lukedecena.deviantart.com "Besok sebelum magrib ke masjid kampung sana, yuk!" "Ngapain?" tanyamu. "Ada takjil gratis di sana. Lumayan laaah." Laki-laki itu kemudian menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Nggak ah." "Kenapa?" "Mending ke masjid sebelah ini aja" "Ngapain? Di situ nggak ada takjil gratis," "Bisa diusahain." "Diusahain? Maksudnya?" tanya laki-laki itu dengan bingung. "Ya kalo kita ke situ bawa takjil yang banyak terus kita bagiin ke orang-orang yang dateng ke situ, ya bakalan ada pembagian takjil gratis." "Kita? Maksudmu kita yang nyediain gitu?" "Iya." "Gaya kamu. Kayak orang kaya aja." "Bukan sok kaya. Mumpung masih ada ini." "Ada apa?" "Ya masih ada rejeki cukup. Masih ada umur. Kalo nunggu kaya, takut udah ga ad

Persiapan Ramadhan

Gambar
"Alhamdulillah ya besok sudah ramadhan." "Iya." "Seneng deh bisa ketemu ramadhan lagi. Aku sudah nyiapin menu sahur dan buka selama sebulan. Pokoknya mantap." "Hmm.." "Aku sudah beli mukena sama sajadah baru buat tarawih di masjid sebulan besok." "Hmm.." "Terus, aku juga sudah siapin uang buat beli baju baru pas lebaran besok. Sudah siap semua, pokoknya." "Yakin?" "Yakin apa?" "Kau sudah siapkan semua?" "Sudah." "Jadi persiapanmu hanya menu sahur dan berbuka, mukena dan sajadah baru, dan baju baru? Hatimu?" "......." "Dan apa kau yakin?" "Apa lagi?" "Umurmu masih sampai besok?" Lalu aku tertunduk.

Pohon Berdaun Merah

Gambar
Source: appraw.com "Wah, gambarnya bagus ya?" pujiku sambil meletakkan segelas es susu cokelat dan secangkir capucino panas ke atas meja. Anak perempuan itu mengangkat wajah, menatapku, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih," jawabnya dengan sopan. "Roti bakar dan pisang cokelatnya tunggu sebentar lagi, ya?" kataku lagi. Wanita yang duduk di hadapanku, yang sedang sibuk menelpon, hanya mengangguk sambil lalu. Aku lantas berlalu. "Itu pohon?" Suara wanita yang sedang menelpon tadi. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku benar. Sewaktu aku berbalik, dia sedang menunjuk ke gambar yang ada di hadapan anaknya. "Iya, Ma," jawab anak perempuan itu. "Masak pohon daunnya warna merah? Pohon itu daunnya hijau." Wanita itu meraih pastel berwarna hijau dari dalam kotak pastel anaknya. Dua buah, dua jenis warna hijau. "Pakai warna gelap di bagian luar. Lalu lanjutkan dengan warna yang lebih muda di da

Pada Rintik Hujan Kali Ini

Gambar
Source: http://weheartit.com Pada rintik hujan kali ini            namamu tak terdengar lagi. Katanya dia lelah menyampaikan rindu             yang hanya selalu bersambut ragu. Tapi hati ini....            entahlah.            Aku tak mengerti. Aku tak bisa membuatnya berhenti             meneriakkan namamu dalam sepi. Aku tak juga bisa membuatnya mengerti             bahwa kau dan aku hanya bisa             sampai di sini.

Obrolan Sepiring Takjil

Gambar
"Kak, udah mau adzan," bisikku padamu di dapur. "Iya." Kamu mengangguk pelan dan tersenyum. Kedua tanganmu masih sibuk meracik secangkir kopi pesanan pelanggan. "Takjilnya aku siapin di sini aja, ya?" "Iya." Kamu membawa cangkir kopi keluar dari dapur. Aku mulai membuka kue-kue yang tadi sengaja kubeli untuk persiapan buka puasa. Tak banyak. Ah, bohong. Banyak juga sebenarnya. Biasalah, lapar mata. Ingin ini itu setiap kali puasa seperti ini. Pintu dapur kembali terbuka bersamaan dengan suara adzan yang terdengar dari masjid sebelah.  "Banyak banget takjilnya," komentarmu. "Ya namanya juga buat buka puasa ini. Seharian nggak makan sama minum." Aku melakukan pembelaan. Kamu menggeleng-gelengkan kepala lalu duduk di kursi plastik dan mulai membatalkan puasamu. "Menahan diri," katamu tiba-tiba. "Hmm?" Aku menaikkan kedua alis, tak paham dengan maksudmu. "Pu

Telanjang

Gambar
Source: pinterest "Sini, deh!" Aku melambaikan tangan padamu yang baru saja mengunci pintu depan kedai kopi kita dan memasang tanda tutup. Kamu berjalan cepat mendatangiku, tak banyak bertanya. "Ini nih.. Coba lihat. Ada video eksperimen sosial." Aku menyerahkan ponselku padamu. Kamu masih tak mengatakan apa-apa. Masih saja menurut lalu menonton video yang kusuguhkan. Video tentang seorang wanita yang tubuhnya dilukisi seolah memakai celana jin ketat, skinny jeans  orang bilang. Lalu dia diminta berjalan kaki di tengah kota New York. Saking hebatnya pelukis itu, tak seorang pun menyadari bahwa sebenarnya waniya itu tak bercelana, hanya memakai celana dalam saja. Ya walaupun pada akhirnya ada juga yang menyadari dan mencuri gambarnya dari dekat secara sembunyi-sembunyi. "Hmmm.." Kamu menyorongkan kembali ponselku sambil tersenyum lalu mulai mengangkati kursi-kursi di kedai yang sudah tutup ini, menaikkannya ke atas meja agar nanti aku lebih mu