Juz Enam Belas



"Saya suka kalo Ramadhan seperti ini."

Seorang laki-laki setengah baya ikut duduk di lantai teras masjid bersama kita. Dia menyandarkan punggungnya di dinding bawah jendela.

"Kenapa, Pakdhe?" tanyamu.

"Suasananya itu menyenangkan, menenangkan, syahdu. Bisa lebih sering dengerin orang ngaji. Terus sepertinya di setiap tempat itu ada orang duduk, nunduk baca Al Quran."

Kita sama-sama mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui kata-katanya.

"Gimana, Le. Sudah sampai juz berapa ngajimu?" tanyanya padamu.

Kamu tak menjawab, hanya tersenyum. Seolah malu untuk menjawabnya.

"Tadi aku dengar kamu ngaji. Nggak papa. Walaupun baru sampe juz empat, itu udah pencapaian luar biasa hlo. Bersyukurlah kamu masih punya keinginan buat ngaji." Lelaki setengah baya itu tersenyum.

Aku langsung menoleh padamu yang juga hanya tersenyum dan mengiyakan saja kata-katanya. Karena yang kutahu, kamu sudah mengkhatamkan bacaanmu di pertengahan minggu ke tiga lalu.

"Memang susah sih memotivasi diri untuk urusan akhirat. Apalagi di umur yang masih semuda kalian. Tapi ada baiknya segera dikejar. Tenaga kalian masih cukup. Dikejar lagi bacaannya, biar paling ga bisa khatam sekali. Mumpung Ramadhan, lho. Ini sudah masuk sepuluh hari terakhir. Masak baru sampe juz enam belas."

"Iya, Pakdhe," jawabmu.

"Kaya pakdhemu ini loh. Paling tidak sehari itu satu juz. Jadi sekarang sudah masuk juz dua puluh empat."

Aku tetiba mencium kesombongan dalam kata-katanya. Sudah hampir aku meluruskan kekesalanku, tapi dari tempatmu duduk, kamu memberiku tanda untuk diam. Aku menurut.

"Yowes kalo gitu. Pakdhe tak pulang dulu. Udah laper. Tapi belum sempet makan, cuma sempat makan kurma sama minum air putih. Habis itu harus jadi imam sholat magrib, terus tadi malah diminta ngimami isya sama tarawih juga."

"Iya, Pakdhe," jawabmu.

Lalu lelaki itu menganggukkan kepalanya padaku, memberi tanda dia pamit sebelum akhirnya berlalu, meninggalkan kita berdua.

"Sombongnya orang iniii," kataku dengan kesal sambil memakai sandalku.

"Hus!" katamu.

"Kamu juga. Kenapa jawab gitu. Harusnya kamu bilang kalo kamu tuh sebenernya udah khatam. Terus kamu udah ulangin lagi. Jadi dia nggak sombong kayak gitu!"

Kamu tertawa kecil dan mengacak puncak kepalaku, lalu merangkulkan tangan di bahuku dan mengajakku melangkah.

"Buat apa?"

"Buat bikin dia diem. Biar dia tahu kalo dia nggak sehebat itu!"

"Terus?" tanyamu.

"Terus apa?" tanyaku bingung.

"Terus apa gunanya. Dia kan saudara kita juga, jangan seneng lah kalo kita berhasil bikin dia malu."

"Tapi dianya juga begitu. Suka mempermalukan orang lain, bikin orang lain keliatan kurang dibandingin dia." Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan nada kesal di suaraku.

"Terus kalo aku melakukan hal yang sama, apa bedanya aku sama dia?" tanyamu.

Aku mendelik padamu, tapi lantas menghela napas.

"Lagian, aku takut."

"Takut apa?"

"Takut nanti jadi muncul rasa bangga kalo aku bilang kayak yang kamu mau. Kalo aku merasa bangga, merasa lebih baik dari beliau, nanti aku sombong. Serem."

"Kok serem?" tanyaku bingung.

"Serem lah. Nggak bisa masuk surga nanti. Tak akan masuk surga orang yang ada kesombongan di hatinya walaupun hanya sebesar biji sawi." Lingkar lenganmu semakin erat di bahuku.

Aku tertunduk.

"Udah. Sana buka pintunya. Pelangganmu udah nunggu itu," katamu seraya mendorong tubuhku pelan ke arah kedai kopi kita yang terasnya sudah diisi tiga orang pelanggan yang menunggu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil