Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Jangan Tanya

Jika sudah kau lihat aku mulai menyumpal telinga, sudah. Jangan lagi kau tanya mengapa. Pastinya saat itu kau sudah mulai memuntahkan kata-kata,    membicarakan si Ini, si Itu, siapa saja,    dan semua kejelekan mereka, membuka aib-aib mereka. Jika sudah kau lihat aku mulai menyumpal telinga, sudah. Tak perlu lagi kau tanya mengapa. Pastinya saat itu suaramu sudah mulai membahana,     melemparkan cacian dan makian pada siapa saja,     menghakimi semua orang dalam kata-kata. Jika sudah kau lihat aku mulai menyumpal telinga, sudah. Jangan lagi tanya apa alasannya. Pastinya saat itu kau mulai mengeluhkan tentang derita,      tentang  bagaimana hidupmu didzalimi penguasa,      tentang bagaimana tak ada lagi orang di dunia ini yang lebih menderita. Jika sudah kau lihat aku mulai menyumpal telinga, sudah. Jangan lagi bertanya apa-apa. Sudah pasti kau adalah alasannya. Kau dan semua caci maki yang terbungkus kata-kata. Kau dan semua aib manusia yang kau umbar-umbar tanpa

Iqra', Mikiro!

Seorang guru di SMA saya dulu selalu mengucapkan kata ini setiap kali mengajar. "Iqra'!" katanya, setiap kali setelah menerangkan pelajaran. Beliau adalah guru pendidikan kewarganegaraan yang pastinya setiap kali masuk kelas akan mengajarkan tentang nilai-nilai kewarganegaraan dan Pancasila, ilmu-ilmu tentang bagaimana seharusnya seorang manusia itu hidup dalam sebuah komunitas, dalam sebuah masyarakat. "Iqra'!" Begitu beliau selalu berkata setiap kali sampai pada kesimpulan. Anehnya, waktu itu, yang seringnya membuat saya dan teman-teman mengulum senyuman, beliau tidak mengartikannya dengan "Bacalah!". Beliau selalu saja mengatakan, "Iqra'! Mikiro ! (Jawa: Berpikirlah)". Sebagai anak SMA yang jiwanya masih sangat labil dan belum berpikir banyak selain tentang kesenangan, waktu itu saya dan teman-teman hanya tersenyum saja mendengar beliau mengartikan seperti itu. Menertawakan, lebih tepatnya. Tapi, sekarang, setelah lumayan banyak

Ketika

Gambar
photo source: www.reddit.com Ketika ada ketidakadilan di sana           dan kita tak bisa melakukan apa-apa.

Laporan Kinerja Harian

Gambar
photo source: http://www.istockphoto.com Laporan kinerjamu lengkap. Keren. Mantap. Pasti nilai kinerjamu akan bagus. Tapi, benar itu semua kau lakukan? Atau itu hanya sekedar laporan? Lantas, bagaimana nanti pada saatnya Tuhan meminta pertanggungjawaban?

LGBT dan Isi Kepala Saya

Isu tentang LGBT memang sedang ramai sekali dibicarakan dan yang membuat saya sedikit kesal, yang membicarakan ini kebanyakan justru orang-orang yang sebenarnya tidak paham dan tidak menjadi bagian darinya. Jika saya ditanya apakah saya paham dan terlibat, ya, saya memang tidak paham dan tidak terlibat. Tapi saya memilih untuk diam dan tidak memerangi. Karena bagaimana pun, mereka juga manusia yang patut untuk dimanusiakan. Karena, menurut saya, cara menasehati bukan seperti itu. Tentang LGBT, secara pribadi saya memang tidak mendukung. Saya bukan pendukung LGBT. Saya tahu bahwa itu tidak sesuai dengan agama. Tapi saya juga tahu bahwa yang namanya orientasi seksual, masalah gender, dan masalah perasaan, adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksa oleh orang lain. Tetap saja, ketika sudah jelas di agama dilarang, pastinya ada yang tidak baik dengan itu. Jika di dalam sejarah sudah diceritakan bagaimana kaum sodom itu diazab karena melakukan hal itu, sudah pasti itu salah. Saya percaya b

Tunjangan Kinerja

Gambar
"Tahu tidak? Di kota X, tunjangan kinerjanya tiga kali lipat dari kita! Padahal golongannya sama, pekerjaannya sama. Ini tidak adil namanya," kataku. "Lantas kau mau bagaimana?" "Ya kita harus tuntut. Kita harus mendapatkan hak yang sama dengan mereka!" "Kau mau kenaikan tunjangan?" tanyanya. "Iya. Mengapa tidak?" "Kau yakin kau layak mendapatkan kenaikan tunjangan kinerja? Memang apa hasil kinerjamu? Datang kerja selalu terlambat, pulang selalu lebih cepat, masuk mengajar sesuka hati, pengabdian kepada masyarakat tak pernah, penelitian tak pernah, membuat rencana pembelajaran saja tak pernah. Membuat soal, menguji, mengoreksi ujian, membimbing di lahan, semuanya tak pernah kau lakukan. Lalu sekarang kau mau meminta kenaikan tunjangan kinerja. Kau merasa layak?" Aku hening. "Atau begini, kuubah pertanyaanku. Kau minta kenaikan tunjangan kinerja itu, memangnya yakin kau akan bisa menjawab k

Cuti dan PP 53: Sebuah Dialog Absurd

"Cuti lagi?" "Iya, Bu." "Kamu ini cuti terus! Mau cuti berapa hari?" "Tiga hari." "Tiga hari? Tidak bisa. Cuti tahunan itu tidak bisa dipecah-pecah ambilnya!" "Tidak bisa dipecah-pecah kurang dari tiga hari. Iya, memang seperti itu. Makannya saya ambil tiga hari, Bu." "Bukan! Di aturan itu jelas. Cuti tidak bisa dipecah-pecah ambilnya. Jadi jika cuti tahunanmu ada dua belas, ya itu semua harus langsung diambil. Sekali ambil!" "Maaf, Bu. Tapi di aturan itu jelas, kalimatnya jelas bahwa cuti tahunan tidak dapat dipecah-pecah kurang dari tiga hari. Bukannya itu berarti cuti tahunan minimal tiga hari?" "Bukan seperti itu! Coba, mana tadi PP 53 saya?" "Maaf, Bu. Aturan cuti pegawai itu ada di PP nomor 24 tahun 1976 tentang cuti pegawai negeri sipil. PP 53 tahun 2010 itu tentang disiplin pegawai."