Iqra', Mikiro!

Seorang guru di SMA saya dulu selalu mengucapkan kata ini setiap kali mengajar. "Iqra'!" katanya, setiap kali setelah menerangkan pelajaran. Beliau adalah guru pendidikan kewarganegaraan yang pastinya setiap kali masuk kelas akan mengajarkan tentang nilai-nilai kewarganegaraan dan Pancasila, ilmu-ilmu tentang bagaimana seharusnya seorang manusia itu hidup dalam sebuah komunitas, dalam sebuah masyarakat.

"Iqra'!" Begitu beliau selalu berkata setiap kali sampai pada kesimpulan. Anehnya, waktu itu, yang seringnya membuat saya dan teman-teman mengulum senyuman, beliau tidak mengartikannya dengan "Bacalah!". Beliau selalu saja mengatakan, "Iqra'! Mikiro! (Jawa: Berpikirlah)". Sebagai anak SMA yang jiwanya masih sangat labil dan belum berpikir banyak selain tentang kesenangan, waktu itu saya dan teman-teman hanya tersenyum saja mendengar beliau mengartikan seperti itu. Menertawakan, lebih tepatnya. Tapi, sekarang, setelah lumayan banyak menelan asam dan garam, saya baru paham maksud ucapan beliau.

Iqra', mikiro! Berpikirlah. Dalam pekerjaan membaca, ternyata kita tidak hanya diminta untuk membaca saja. Ternyata kita diminta untuk berpikir. Karena tak akan ada gunanya jika kita hanya sekedar membaca. Apalagi jika membaca sambil lalu, tak akan menempel di otak, tak akan bermanfaat. Sialnya, hal itulah yang justru banyak terjadi sekarang ini. Banyak sekali orang yang membaca, tetapi hanya sekedar membaca, tak berpikir, tak mengambil pesannya, tak mendapatkan ilmunya. Ribuan buku ditumpuk, dibuka sesekali, tapi tak pernah dipahami. Ilmu hanya dihafalkan, tak pernah diamalkan. Membaca hanya dijadikan sarana untuk mencari nilai dan sekedar lulus, tanpa ada ilmu yang tertinggal. Di kuliah belajar tentang tehnik komunikasi terapeutik, misalnya. Belajar, membaca, diajari, mengajari tentang bagaimana seharusnya berkomunikasi yang benar. Sudah membaca tentang bahwa seharusnya ketika berkomunikasi, ada sopan santun, ada caranya. Ada caranya, bagaimana orang yang lebih muda berbicara dengan yang lebih tua. Pun bagaimana seharusnya yang lebih tua berbicara dengan yang lebih muda. Tapi, setelah dinyatakan lulus malah tak pernah dilakukan. Yang muda dipaksa untuk tetap sopan, tetapi yang merasa lebih tua, seenaknya saja membentak-bentak dan menuduh itu dan ini.

Iqra', mikiro. Berpikirlah. Ketika membaca seharusnya kita berpikir. Membaca itu tak sekedar membaca sambil lalu, tapi dipahami. Membaca itu harus tuntas. Karena ketika kita hanya membaca sambil lalu dan tidak tuntas, seringnya akan muncul kesalahpahaman. Mendapat pesan singkat, tak dipahami terlebih dahulu, tak dibaca hingga selesai terlebih dahulu, sudah langsung marah, lalu mengamuk, mencak-mencak. Mendapat surat, tak dibaca baik-baik, langsung menuduh ini dan itu pada pengirimnya.

Iqra', mikiro! Berpikirlah! Membaca tanpa berpikir itu berbahaya. Tapi akan lebih berbahaya jika tak pernah membaca sama sekali. Belajar tak pernah, membaca tak mau, lalu bagaimana seharusnya peraturan dijalankan dan apa konsekuensi serta segala sanksinya juga tak tahu. Tapi seenaknya saja menghukum orang, melarang orang melakukan itu dan ini, memarahi orang atas dasar yang jelas. Sebelum berteriak orang lain salah, akan jauh lebih baik duduk terlebih dahulu, lalu baca. Iqra'! Bacalah. Berpikirlah. Pahamilah bagaimana peraturan yang sebenarnya. Jangan sampai kita ini nanti masuk ke dalam golongan pemimpin yang dzalim, yang menjatuhkan hukuman tanpa tahu hukum itu sendiri. Lebih parahnya, mungkin malah sebenarnya kita melanggar hukum itu sendiri.

Maka, iqra'! Mikiro! Berpikirlah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil