The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil

indigitaltimes.com




Saya jatuh cinta lagi. Terakhir kali saya jatuh cinta seperti ini adalah sebelas tahun yang lalu, sewaktu saya berada di tahun terakhir SMA. Pertama kali saya menontonnya, saya langsung jatuh cinta dan tidak pernah bosan padanya. Daredevil, salah satu superhero-nya Marvel. Jika dihitung-hitung, mungkin sudah lebih dari seratus kali saya menontonnya. Tidak peduli walaupun teman-teman atau keluarga saya mengatakan kalo ini adalah film gagal. Tidak peduli ada berapa banyak pun komentar yang saya baca tentang betapa buruknya film ini. Saya tetap suka. Saya tetap jatuh cinta.

Dan tahun ini, hal itu terjadi lagi. Bermula dari iseng-iseng mencari kabar tentang film daredevil 2 yang sudah lama dirumorkan akan dibuat, saya berakhir pada fakta menyenangkan bahwa bulan April kemarin, Marvel sudah bekerja sama dengan stasiun televisi Netflix sudah merampungkan musim pertama serial Daredevil. Ya, Daredevil! Ya, serial! Dan ya, saya langsung kalap dan beberapa hari mencarinya sampai akhirnya, satu minggu kemudian saya berhasil menyelesaikan menonton musim pertama serial ini. Dan ya, saya jatuh cinta lagi.

Saya, dengan hebohnya, kemudian memberi tahu si Mas, teman dekat saya, dan kakak saya yang dulu paling semangat menggeleng-gelengkan kepalanya setiap kali saya menonton Daredevil. Yang lain sih responnya standar, meminta saya cepat-cepat bertobat dan sadar. Tidak ada yang terlalu menanggapi kekalapan saya. Mungkin mereka sudah hafal. Cuma si Mas saja yang dengan suka rela meluangkan waktunya menanggapi saya yang di tengah malam dengan hebohnya me-BBM dia tentang serial Daredevil yang baru saja selesai saya tonton. Dan di obrolan tengah malam itu, pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah dilontarkan oleh siapa pun kepada saya, terlontar dari si Mas; kenapa saya nge-fans sama Daredevil.

Kenapa saya nge-fans sama Daredevil? Sama dengan kebanyakan alasan saya menyukai setiap hal yang saya sukai, saya tidak tahu dengan pasti. Mungkin karena Daredevil bukan konglomerat seperti Bruce Wayne atau tidak bisa terbang seperti Clark Kent. Mungkin karena Matt Murdock ini yang terlihat paling relijius dibandingkan super hero lainnya, yang paling rajin ke Gereja. Mungkin juga karena dunianya yang digambarkan suram, sendu, melankolis. Saya tidak tahu dengan pasti.

Lanjut tentang serial Daredevil. Serial ini pada dasarnya tidak banyak berbeda dari filmnya di tahun 2003 lalu. Inti ceritanya sama; Daredevil versus Kingpin. Suasananya sama; gloomy, melankolis. Tapi, jika dibandingkan dengan filmnya, menurut saya, serial ini jauh lebih bagus karena:




1.    Konfliknya lebih banyak.
Jika di filmnya dulu, pusat ceritanya hanya pada hidup Matt Murdock, tentang bagaimana dia mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatannya, bagaimana dia mengembangkan inderanya yang lain, bagaimana konflik di kehidupan kerja ayahnya, percintaannya. Di filmnya dulu, pesan yang disampaikan hanya bahwa Matt Murdock ingin memerangi kejahatan, dituduh sebagai orang jahatnya, ingin membuktikan bahwa dia bukan the Bad Guy, dan menjatuhkan Kingpin, penjahat yang menguasai Hell’s Kitchen. Ini yang saya tangkap. “Saya” mengacu pada manusia biasa dengan kapasitas otak terbatas dan kinerja otak kurang begitu ‘normal’. Nah, di serial ini, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, konfliknya jauh lebih banyak. Cerita bukan hanya berpusat pada kehidupan Matt Murdock, tetapi juga kehidupan pribadi Kingpin. Di serial ini, ditunjukkan bahwa setiap orang punya masa lalu, punya alasan atas setiap tindakan yang diambilnya, bukan hanya tokoh utamanya, tetapi juga Kingpin, si Tokoh Antagonis. Di serial ini diceritakan tentang masa lalu Kingpin dan kehidupan pribadinya, tentang ibunya dan kisah percintaannya. Di serial ini ada juga konfliknya Karen Paige, sekretarisnya Nelson and Murdock, bagaimana cerita awalnya dia bisa kenal sama dua pengacara itu dan permasalahan-permasalahannya. Kemudian, ada juga cerita Ben Urick, Foggy Nelson, dan sebenarnya masih ada banyak lagi sih konflik yang seru. Tapi sebaiknya ditonton sendiri saja.
2.    Pemilihan pemainnya lumayan pas
Dibandingkan dengan Ben Affleck, bagi saya, Charlie Cox lebih cocok memerankan Matt Murdock. Yah, walaupun ada saja yang mengatakan bahwa Mas Cox ini tidak cocok memerankan Matt Murdock jika mengingat bagaimana cengok-nya dia di Stardust dulu. Tapi bagi saya, Cox sukses kok memerankan Murdock di serial ini. Dia bisa kok melepas kesan cengoknya dan berubah menjadi seorang laki-laki dengan beban luar biasa berat di pundaknya dan amarah yang berusaha ditahannya.
Foggy Nelson, sahabatnya Murdock, di serial ini diperankan dengan baik oleh Elden Henson. Karakternya Nelson di serial ini agak berubah sedikit dari film. Nelson pada dasarnya masih tetap memiliki pandangan yang berbeda dari Murdock tentang definisi ‘innocent client’, tapi di serial ini dia tidak terlalu keberatan melakukan pekerjaan tanpa bayaran, tidak seperti di filmnya. Nelson di serial ini juga memiliki peran banyak sekali di dalam cerita, tidak seperti di filmnya yang lebih mirip figuran buat saya.
Vincent D’onofrio juga dengan baik memerankan Wilson Fisk atau Kingpin. Yah, walaupun awalnya saya agak kurang terbiasa saja melihat Kingpin dengan ukuran tidak terlalu besar dan berkulit putih, tapi toh pada akhirnya, setelah melihatnya dan penjiwaan karakternya, saya jatuh cinta juga padanya.
Secara umum sih, pemilihan pemerannya memang bagus; Karen, Claire, The Russian. Keren pokoknya.
Elden Heson as Foggy Nelson - Deborah Ann Woll as Karen Page - Charlie Cox as Matt Murdock - Rosario Dawson as Claire Temple - Vincent D'onofrio as Wilson Fisk (cinemacrush.com)

3.    Lebih banyak adegan perkelahiaannya
Yak, di serial ini, adegan perkelahiannya lebih banyak. Pastinya karena ceritanya jauh lebih panjang daripada film. Dan walaupun ada beberapa bagian yang tidak masuk akal, tetap saja, ini keren. Dan yah, walaupun sebenarnya agak aneh juga karena kesannya kok Murdock ini apa-apa sedikit langsung mukulin orang. Kesannya terlalu terburu-buru dan gampang mengamuk. Tapi adegan perkelahiannya kereeeen. Dan semakin banyak, semakin keren.

Ada satu hal lagi yang membuat serial ini lebih menarik buat saya. Matt Murdock speaks Spanish people. Dia lancar banget bicara bahasa Spanyol-nya. Dan itu seksi sekali. Hehehe... Yah, intinya, walaupun ada juga yang menilainya tidak bagus dan mengecewakan, tentang pemilihan Charlie Cox sebagai Matt Murdock yang dianggap tidak cocok, tentang banyaknya cerita tidak masuk akal, saya tetap suka serial ini. Mungkin karena memang dari awal saya sudah nge-fans sama Daredevil. Lagipula, ini kan memang cerita fiksi. Dari cerita dasarnya saja, seorang yang terkena limbah kimia kemudian memiliki kemampuan indera yang luar biasa, tentunya sudah tidak masuk akal. Lantas, mengapa menuntut bagian yang lain juga harus masuk akal? Jadi, akan sama dengan kejadian sebelas tahun lalu itu, saya tidak akan peduli kata orang. Saya tetap suka, akan suka, dan akan tetap suka serial ini. Semoga musim keduanya nanti lebih seru lagi dan lebih romantis lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh