Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

Dzalim (2)

Gambar
Agrowisata Amanah, Tawangmangu, Jawa Tengah (dokumen pribadi) "Beneran, deh. Pemerintahan ini beneran dzalim. Harga-harga bahan pokok naik semua. Tambah mahal. Hidup tambah susah." Kamu langsung menoleh padanya. Dia yang baru saja datang itu langsung berdiri di sisimu, ikut bersandar pada pagar pengaman. "Dateng-dateng langsung ngomel. Kenapa, Cintaaa?" "Ini, nih. Pemerintah. Dasar dzalim. Semua harga dinaekin. Dipikir rakyatnya ini orang kaya semua apa? Tiap mau lebaran kok kayak gini. Apa-apa mahal." Kamu tersenyum lalu mengacak rambutnya. "Yang sabar," katamu. "Sabar.. sabar. Ya masak suruh sabar terus. Udah gitu, sekarang susah lagi nyari pendapatan tambahan. Dulu kan kalo dapet tugas ke luar daerah, aku masih bisa dapet duit mayan. Dulu bisa minta bill hotel padahal nggak nginep di sana. Dulu travel bisa diajak kerja sama buat ngakalin harga tiket. Sekarang susah. Hotel-hotel pada ga berani bikin bill palsu. Travel juga

Matahari

Gambar
Pantai Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara (Dokumen Pribadi) "Matahari!" serunya. Aku menghentikan motor, memarkirkannya di pinggir jalan lalu mengikuti langkahnya menerobos semak-semak. "Cuma matahari. Apa bagusnya?" tanyaku, tak paham dengan kecintaannya yang luar biasa pada bintang raksasa itu. "Memangnya kau tak suka pada matahari?" tanyanya sambil sibuk mengabadikan matahari terbit di timur sana itu dalam fotonya "Bukan tak suka. Cuma, tak sefanatik dirimu saja." "Siapa yang fanatik?" "Kamu lah. Siapa lagi. Waktu orang lain galeri fotonya berisi foto manusia, foto selfi. Kamu? Galeri kok isinya matahariiii saja. Pergi ke mana-mana yang dicari sunset sama sunrise." Dia tergelak. "Pengagum," katanya kemudian. "Aku ini pengagum matahari." "Matahari terbenam memang cantik sih," kataku. "Bukan itu juga sih sebenarnya." "Lalu apa?" "Dia itu pusat

Rugi

Gambar
Kunden, Bulu, Sukoharjo (Dokumen Pribadi) "Suatu hari nanti, kita juga akan berada di tempat seperti ini," katamu begitu kita memasuki area pemakaman. "Apasih kamu bicara kayak gitu?" tegurku. "Aku tak suka." "Suka tak suka, suatu hari nanti kan pasti," jawabmu. "Semoga, jika sampai waktu kita nanti, kita bukan orang yang merugi." Aku menaikkan alis. "Iya. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi. Bekerja keras, banting tulang sampai lupa sholat, tak punya lagi tenaga untuk hadir di kajian, atau bahkan membaca Al Qur'an. Jangan sampai lelah kita tak bisa membawa kita ke surga," katamu. Deg. Dadaku rasanya dihujam pisau. Dalam. Kata-katamu baru saja itu benar-benar tepat mengenai jantungku. Aku tahu kamu sedang menasihatiku sekarang. Pesan yang khusus buatku. Setelah beberapa kali kamu menanyakan apakah aku sudah sholat dan kujawab belum karena masih ada pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan. Ah, bukan ta

Sajadah (2)

Gambar
Ngemul, Sukoharjo, Jawa Tengah (Dokumen Pribadi) Kamu melangkah cepat memasuki masjid. Jamaah sholat subuh sudah dimulai. Imam baru saja selesai membaca Surah Al Fatihah. Sesaat kamu mencari tempat, lalu bergegas memasuki shaf paling belakang, di sebelah seorang laki-laki paruh baya yang sedang sholat tanpa pengalas. Tanpa berpikir panjang, kamu menggelar sajadahmu, melintang di hadapan laki-laki itu tepat ketika jamaah mulai ruku. Lalu kamu berniat, melakukan takbiratul ikhram, dan ikut ruku bersama mereka. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan dua rakaat. Laki-laki setengah baya yang duduk di sebelahmu itu tersenyum padamu dengan kedua mata berkaca-kaca. "Terima kasih," katanya sebelum kemudian berlalu. Kamu hanya tersenyum dan mengangguk, mengambil sajadahmu, lalu melangkah keluar dari masjid. Bagimu, pagi ini tak ada yang berbeda dari biasanya. -------------------- Laki-laki setengah baya itu melangkah dengan tegap, tak lagi selesu ketika dia berang

Dua Puluh Tiga

Gambar
Hari ini tidak ada air mata. Tidak lagi. Mungkin ibu sudah lelah. Atau mungkin ibu sudah mulai bisa melepaskan. "Besok pagi antar ibu ke makam bapak, ya?" katanya sewaktu memasuki kamarku sebelum tidur semalam. Aku mengiyakan dengan perasaan penuh kekhawatiran. Aku khawatir besok paginya akan ada banjir air mata seperti biasa. Aku khawatir tak akan bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya, pun menguatkan hati untuk diam membiarkannya. Tapi ternyata aku salah. Pagi tadi selepas subuh ketika aku mengantarnya, ibu bercerita tentang segala hal yang dibacanya di kolom berita di internet tentang politik dan ekonomi. Padahal dulu, biasanya ibu hanya diam saja seolah suaranya tertelan kesedihannya sendiri. Untunglah. Lalu di makam bapak, kami hanya membersihkan makamnya, menghilangkan dedaunan dan bunga-bunga kering yang ada di atas gundukan tanahnya, lalu membersihkan sekitarnya dan menaburkan bunga setelah memanjatkan doa. Aku meliriknya. Pagi tadi tak ada air mat

Infaq

Gambar
Tapak, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi) "Aku nggak mau sholat di masjid yang tadi lagi," katanya. "Kenapa emangnya?" "Mukenanya kotor dan bau. Terus karpetnya juga berdebu gitu. Tadi pas sujud kehirup gitu debunya. Ga pernah dibersihin deh kayaknya." Kamu mengangguk-anggukkan kepala. "Yaudah. Ayo kapan kita bersihin tuh masjid?" tanyamu. "Kita? Lah emang kita marbot?" Kamu tiba-tiba menghentikan langkah. "Yaudah. Kamu bawa duit berapa?" tanyamu lagi. "Ada tujuh puluh ribu, nih." "Siniin lima puluh ribu!" "Buat apaan?" "Ngisiin kotak infaq di masjid tadi." "Mau balik ke sana lagi?" tanyanya. "Iya. Siniin duitmu!" "Nggak ah. Banyak bener. Ini aja." Dia mengulurkan uang lima ribuan padamu. Kamu menghela napas, menatap sahabatmu itu dan tersenyum pahit. Sukoharjo, 26 Mei 2018