Rugi

Kunden, Bulu, Sukoharjo (Dokumen Pribadi)


"Suatu hari nanti, kita juga akan berada di tempat seperti ini," katamu begitu kita memasuki area pemakaman.

"Apasih kamu bicara kayak gitu?" tegurku. "Aku tak suka."

"Suka tak suka, suatu hari nanti kan pasti," jawabmu. "Semoga, jika sampai waktu kita nanti, kita bukan orang yang merugi."

Aku menaikkan alis.

"Iya. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi. Bekerja keras, banting tulang sampai lupa sholat, tak punya lagi tenaga untuk hadir di kajian, atau bahkan membaca Al Qur'an. Jangan sampai lelah kita tak bisa membawa kita ke surga," katamu.

Deg. Dadaku rasanya dihujam pisau. Dalam. Kata-katamu baru saja itu benar-benar tepat mengenai jantungku. Aku tahu kamu sedang menasihatiku sekarang. Pesan yang khusus buatku. Setelah beberapa kali kamu menanyakan apakah aku sudah sholat dan kujawab belum karena masih ada pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan. Ah, bukan tak bisa. Mungkin, lebih tepatnya, tak mau kutinggalkan.

"Nanggung." Begitu selalu alasanku padamu dan pada diriku sendiri.

Lalu sampai di rumah aku hanya akan tidur karena lelahku. Entah sudah setebal apa debu di sampul Al Quran-ku sekarang. Lama tak kubuka dia.

"Mas?" panggilmu.

Aku menoleh.

"Kok malah bengong. Ayo!"

Kamu mengajakku mendatangi nisan kedua orang tuaku, membersihkannya, lalu memanjatkan doa untuk mereka.

"Yang," panggilku begitu kita berjalan keluar dari area pemakaman.

"Ya?"

"Makasih," bisikku.

Kamu tersenyum mengiyakan.


Sukoharjo, 30 Mei 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil