Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Sampah

Gambar
"Ambil lagi gelas plastikmu." "Kenapa?" "Ini jalan. Bukan tempat sampah." "Ya habis tak disediakan tempat sampah." "Paling tidak, kamu masih bisa menyimpannya sebentar sampai kita bertemu tempat sampah." "Yang lain juga buang sampah sembarangan, kok. Repot amat kita harus nyari tempat sampah." "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya (1). Tumbuhan dan hewan sudah berusaha menyeimbangkan alam, loh. Alloh sudah memperbaiki alam lewat mereka. Masak kita, manusia yang mengaku berakal, mau merusaknya lagi hanya karena orang lain melakukan hal yang sama?" "Ah, kan nanti juga ada tukang sapunya? Kalo aku buang sampah di tempat sampah, nanti dia nggak dapet kerjaan. Jadi sebenernya aku ini bantuin mereka. "Bantuan itu meringankan, bukan menambah pekerjaan. Tanpa ada sampahmu, mereka tetap harus membersihkan dedaunan yang berguguran, kok. Alloh sudah menjam

Contraflow

Gambar
Kamu yang semenjak tadi hanya memandangi bentangan jalan di depan, tiba-tiba menoleh sewaktu sebuah motor berhenti di sisi kananmu. Kamu lantas menurunkan jendela. "Mas, itu area contraflow," katamu padanya. Laki-laki yang ada di atas motor itu hanya melirikmu. Tapi tak juga dia memindahkan motornya untuk masuk ke dalam area marka garis melintang utuh. Padahal sebenarnya dia masih bisa masuk ke barisan motor yang ada di depan kita. "Maju aja, Mas. Masuk ke situ. Masih ada tempat dan lebih aman," katamu lagi padanya. Kali ini dia pura-pura tak mendengarmu. Kedua matanya menatap lampu lalu lintas yang masih menyalakan warna merah. "Bahaya kalo di situ, mas. Nanti kalo tiba-tiba bus yang punya jalur dateng, mas bisa ketabrak. Mending maju aja," katamu lagi. Dia tak bergeming. "Mas nggak kasihan sama istrinya yang di boncengan? Ini mas melanggar undang-undang loh. Mas sudah membahayakan orang lain. Bagaimana juga nanti mas akan mempertan

Pemalu

Gambar
"Tak menyangka ya sudah tujuh tahun kamu menikah?" tanyaku padanya. Sahabatku. "Mengapa tak menyangka?" "Jujur saja. Aku memang tak yakin kamu bahagia dengan keputusanmu dulu: bersedia dinikahi oleh laki-laki yang baru kau kenal dua bulan. Itu pun kau hanya mendengar cerita tentang dia dari teman-teman dan keluarganya. Kamu dengannya hanya bertemu beberapa kali saja. Setiap bertemu hanya bercakap-cakap saja. Tak ada momen mesra." Dia tersenyum. "Kau mencintainya?" tanyaku. Pertanyaanku hanya dijawab dengan senyuman. "Apa memangnya yang menarik dari dia sampai akhirnya kau bisa bertahan sebegini lama?" "Banyak," katanya. "Tapi yang kusuka, dia itu seperti matahari sewaktu langit agak mendung seperti ini." Aku menoleh padanya. "Dia itu lelaki hebat. Tapi dia pemalu. Sama seperti matahari itu." "Pemalu? Mana mungkin dia pemalu?" Cemoohku. "Sedangkan baru melihatmu sekali

Tamu

Gambar
"Jangan cemberut kalo ada tamu," tegurnya. . "Aku lagi ga mood," jawabku sambil mengangkati gelas-gelas kotor dari atas meja. . "Ya walaupun lagi ga mood, usahakan menyembunyikan ga moodmu itu kalo di depan tamu." . "Ya tergantung tamunya. Kalo tamunya nyenengin mah bisa-bisa aja." Aku mengangkut gelas-gelas itu ke dapur. . "Usahakan bisa." . "Buat apa? Toh dia ke sini juga cuma kalo ada maunya aja. Kalo butuh aja. Kalo nggak, kan nggak juga pernah ke sini." . "Malah bagus, dong. Artinya dia menganggap kita bisa diandalkan." . "Ya tapi kan ngeselin. Bikin males," jawabku dari dapur, dari depan bak cuci piring, mulai mencuci gelas-gelas yang tadi dia pakai bersama tamunya. . Dia menyusulku ke dapur, berdiri di sampingku, menatapku. . "Apa?" tanyaku. . "Ayolaah.. Bisa ya? Ya?" . Aku meliriknya. . “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendakla

Baper

Gambar
Landmark Kota Ternate, Maluku Utara "Tau rasa!" katanya dengan kedua mata menatapi layar ponsel. "Apa?" tanyamu yang sedang melangkah di sisinya. "Nih. Manusia ini nih yang habis bikin status ngejelek-jelekin pelayanan. Sekarang bikin status lagi minta maaf." Dia menunjukkan layar ponselnya padamu. "Kok malah tau rasa? Bukannya bagus?" "Ya minta maafnya kan setelah heboh sampe ke tingkat direktur perusahaan." "Ya paling ga kan dia masih ada itikat baik buat minta maaf." "Iyaa.. Buat pelajaran juga biar ga macem-macem, ga komen sembarangan. Ga ngejelek-jelekin pelayanan. Udah syukur dilayani. Coba kalo ga ada yang ngelayani? Apa nggak susah dia?" Kamu mengajaknya duduk di undakan yang menyambung langsung ke beningnya air laut. "Ini yang kita masih sering salah," katamu. "Apa? Menempatkan diri." "Maksudnya." "Dia membutuhkan pelayanan kita lantas kita meras

Namimah

Gambar
"Kemarin aku mendengar mereka membicarakanmu," kata seorang perempuan. Kedua tangannya sibuk memotong pizza yang ada di atas piring. "Biarkan," jawab kawannya dengan tenang. "Kau tak ingin dengar apa yang mereka bicarakan tentangmu?" Kawannya menggeleng. "Mereka menjelek-jelekkan dirimu, tahu?" "Biarkan," jawab kawannya. Masih saja tenang. "Sudah, jangan kau ceritakan lagi tentang mereka." "Mengapa tidak? Ini fakta yang kusampaikan. Aku tak memfitnah." "Betul kau tak memfitnah. Betul kau katakan fakta. Kau mendengarnya sendiri. Tapi, jika apa yang akan kau ceritakan padaku itu akan membuatku membenci mereka, atau membuat perang di antara aku dan mereka, sebaiknya tak perlu kau ceritakan." "Ya tapi kan setidaknya kau tahu.Aku ini sahabatmu. Sudah seharusnya aku menjagamu. Hal-hal seperti ini, kau harus tahu." "Untuk apa? Tak akan ada gunanya untukku. Sedangkan untukmu...&

Maaf

Gambar
"Udah, nggak usah nengok-nengok." "Beneran ngajak berantem tu orang. Habis mendahului dari kanan kok tiba-tiba langsung belok ke kiri. Nyelakain orang tau!" "Yang penting kan kita nggak papa. Udah." "Kamu tuh, jadi orang jangan terlalu baik kenapa, sih?" "Ya masak ga boleh jadi orang baik?" "Ya cuman kamu itu terlalu baik. Semua semua dimaafin. Orang udah ngefitnah kamu kayak waktu di kantor itu, separah itu, bisanya kamu maafin." "Kok jadi bahas masalah itu. Yang udah ya udahlah." "Ya ga bisa gitu dong. Dia tuh udah kebangetan. Kan dia tuh deket sama kamu. Apa-apa curhatnya ke kamu. Bisanya loh dia ngomongin kamu di mana-mana, ngejelek-jelekin kamu gitu. Terus, bisanya kamu ini maafin dia segampang itu?" "Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan orang lain, maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." #20180214 Alla

Tak Ada Hati

Gambar
Pantai Dermaga Biru, Bacan, Halmahera Selatan "Tak punya hati," gumamnya. Kedua kakinya dia ayun-ayunkan di udara, di atas beningnya air laut di Dermaga Biru. Kawannya ikut duduk di sana, di sisinya, di atas dermaga kayu yang masih basah. Hujan memang baru saja reda. "Orang kok nggak ada hatinya gitu. Bisa-bisanya tenang banget ditinggal meninggal sama suami. Nggak nangis. Bisa gitu nemuin pelayat dengan wajah penuh ketenangan begitu." Kawannya tak mengatakan apa-apa. Hanya mendengarkan saja. "Dulu aja sok romantis. Sok paling sayang sama suaminya. Sayang kok nggak sedih ditinggal pergi." "Sedih kan tak harus ditunjukkan." "Kau wanita kan? Bisa memangnya kau sembunyikan kesedihanmu jika ada di posisinya?" Kawannya mengangkat bahu. "Itulah. Kasihan sekali suaminya itu. Seperti tak dianggap." Kali ini kawannya menggeleng. "Beruntung sekali suaminya itu." "Beruntung?" "Iya. Ber

Ujian

Gambar
"Susaaaaah!" "Dijalani aja." "Tapi beraaat." "Ya tapi harus dijalani. Mau bagaimana?" "Cumaan..." "Keluhan itu akan memperberat. Tak akan memperingan." "Ya kan..." "Dijalani, biar selesai. Kalau tidak dijalani, tak akan selesai." "Nggak sanggup." "Sanggup. Kan tidak mungkin diberi beban yang kita tak sanggup." "Berat sekali.." "Ya sudah. Jika memang benar-benar tak sanggup lagi, berhenti juga tak apa. Nanti kuberitahu Malaikat Izrail. Biar dia menjemputmu pulang." #20180208 #latepost

Pulanglah

Gambar
Pantai Pelang Panggul, Trenggalek, Jawa Timur "Pulang!" katanya begitu memasuki bilik kerjaku. Aku yang masih disibukkan dengan pekerjaan di laptopku hanya mengangguk dan mengiyakan sekenanya. Pekerjaan ini harus selesai hari ini. Aku tak mau jika besok pagi masih harus menyelesaikan ini lagi. Besok masih ada pekerjaan lain yang menunggu. "Pulang," katanya lagi. Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan mejaku. Mau tak mau aku mengangkat wajah. "Ini sudah mau magrib," katanya. "Iya, Pak. Saya memang sengaja mau tunggu magrib dulu baru pulang." "Sudah. Cukup kerjamu hari ini. Kasihan matamu. Berapa jam kamu pakai dia menatap layar laptop seperti itu? Memangnya negara membayar berapa jika nanti terjadi apa-apa dengan matamu? Berapa banyak yang akan ditanggung negara untuk pengobatanmu?" Jari-jariku mulai berhenti mengetik sekarang. "Belum lagi jantungmu, otakmu, hatimu. Yang kamu kerjakan itu memeras pikiran, me

Koleksi

Gambar
"Liat, liat. Gamis ini lucu, deh!" Aku menyorongkan layar ponsel ke arahmu. Kamu yang sedang menikmati pemandangan kota di bawah sana segera menoleh. Kepalamu terangguk-angguk. "Iya." "Gitu doang?" tanyaku. "Kamu mau beli?" tanyamu. Aku tersenyum lebar. "Lucuu," kataku. "Kamu nggak?" Kamu menggeleng pelan. "Dua bulan lalu udah beli." "Ya ini kan beda. Modelnya ini lucu, loh. Lain. Keliatan elegan gitu. Udah gitu murah. Free ongkir lagi." Kamu menggeleng. "Ayolaah.. Bajumu tuh cuma itu-itu saja." "Gapapa." "Cewek tuh koleksi bajunya harus banyak. Biar bisa ganti-ganti. Apa nggak malu bajunya nggak ganti-ganti?" "Aku malu kalo punya koleksi baju terlalu banyak." "Kok malah malu? Bangga dong harusnya." "Malu. Rasulullah saja, yang jelas-jelas manusia pilihan, hidupnya sederhanaaa banget. Ga ngerasa perlu punya koleksi baju,&

Berat

Gambar
"Hidup di negara ini makin susah aja setiap hari. Disuruh kerja kerja kerja terus. Udah gitu harus capai target kerjaan pula. Bayangin dong. Aku harus dapet dua puluh klien sebulan." "Susah lagi kerja di kantorku. Aku sebulan harus dapet tiga puluh pelanggan. Berat loh nyari tiga puluh pelanggan dalam sebulan." "Tiga puluh aja ngeluh berat. Targetku empat puluh pelanggan sebulan. Bayangin, dong. Apa nggak lebih berat lagi itu?" "Tapi, kayaknya kerjaan dia yang lebih berat, deh!" Mereka lantas menoleh pada sumber suara, sebelum akhirnya ganti menoleh pada laki-laki yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan. Pada dia yang ditunjuk oleh si sumber suara. "Berat? Berat apa? Dia itu enak kali, nggak harus cari pelanggan kayak kita. Udah PNS, tiap bulan dapet gaji, dapet tunjangan kinerja, nanti pensiun masih dapet duit pensiun lagi. Kerjaan dia tuh enak. Kan cuma ngajar aja." "Iya. Dia kan cuma ngajar. Nggak harus bantin

Jenuh

Gambar
Pantai Dufa Dufa, Ternate, Maluku Utara "Telponmu." Aku menunjuk ponsel yang dia letakkan di atas kursi besi di sisinya. Dia hanya melirik layar ponselnya yang menyala, lalu mengabaikannya. "Kenapa tak kau angkat?" "Malas," katanya dengan wajah tak peduli. "Paling-paling nanti yang dibahas cuma itu-itu saja." Aku berdiri, pindah duduk di pagar semen setinggi lutut yang membatasi trotoar ini dari bebatuan menuju air laut. Aku ingin melihat wajahnya ketika berbicara. "Paling-paling hanya akan bertanya, 'kapan kamu pindah?' atau dengan nada sedih akan bertanya 'kapan yaa bisa sama-sama kamu tiap hari?'. Atau yang lebih membuatku malas lagi, 'Kamu kok nggak pindah-pindah, sih?'." Layar ponsel itu menyala lagi. Dengan cepat dia meraih benda berwarna hitam itu, lalu membaliknya, menghadapkan layarnya ke bawah. "Mereka itu bertanya seolah aku ini yang mengeluarkan SK pindah. Seolah aku ini tak p

Enak

Gambar
Pantai Dufa Dufa, Ternate, Maluku Utara "Enak ya jadi anak-anak," serumu begitu kalian sampai di pantai Dufa Dufa dan menemukan anak-anak sedang asyik bermain di dermaga kecil sore ini. "Enak karena beban hidupnya nggak banyak?" Dia ikut melihat ke arah dermaga. "Itu juga," katamu. "Di samping mereka punya Kebebasan. Mereka bisa bertingkah sesuka hati dan mendapatkan pemakluman." Dia menggangguk-anggukkan kepala sambil melangkah menuju kursi yang sengaja disediakan di sepanjang pantai itu, lalu duduk di sana. "Menarik," katanya. "Apa yang menarik?" Kamu berbalik, lalu ikut duduk di sisinya. "Kita," jawabnya. "Manusia." Dia melirik padamu sebelum akhirnya memiringkan tubuh, menghadapmu. "Kita ini memang susah sekali menyukuri apa yang kita punya, lebih suka menganggap bahwa apa yang tidak kita miliki itu selalu lebih baik." "Bahas apa, sih. Mulai ke mana-mana, deh."

Keluh

Gambar
Pantai Salero, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi) "Langitnya lagi ga bagus." "Ga bagus gimana?" "Ya ga bagus aja. Birunya nggak cerah. Bentuk awannya juga .. Ah, nggak bagus lah pokoknya." "Dinikmati aja kenapa. Disyukuri." "Udah gitu matahari panas banget, lagi!" "Udah, disyukuri aja." "Apanya?" "Ya semuanya. Bersyukurlah hari ini masih bisa liat langit biru sama gumpalan awan itu. Bersyukur matahari masih bersinar. Coba bayangin kalo hari ini umur matahari habis terus dia mati. Nggak bisa lagi kita nikmati langit biru dan awan-awan, nggak juga kehangatan." "Kalo matahari mati, kiamat lah." "Makanya itu. Bersyukur lah masih dikasih hidup. Masih dikasih kesempatan buat taubat. Buat nambah-nambah bekal pulang. Apa nggak rugi coba kesempatan sebaik ini hanya diisi sama keluhan?" "Ya cuman kaaan...." "Apa?" "......." "D

Manusia Ribet

Gambar
Pantai Kastela, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi) "Ada satu manusia di kantorku. Ribet sekali orangnya, ngeyel, tukang ngelawan kalo dikasih tahu," kataku seraya menjatuhkan diri, duduk di atas pasir pantai dan menikmati matahari yang sedang beranjak pulang. Kamu mendengarkan, ikut duduk di sisiku. "Disuruh ngajar, dia bilang itu bukan job desc-nya dia. Soalnya dia itu instruktur lab, bukan dosen. Jadi seharusnya jika dia memang diminta mengajarkan materinya dosen, dia minta honor. Ribet. Apa susahnya sih bantu orang lain ngajar aja? Diikhlasin aja gitu. Kan nanti dapet pahala juga." Kamu mengangguk-anggukkan kepala, masih mendengarkan. "Disuruh bikin penelitian juga gitu. Nggak mau kalo dia yang harus kerjain terus dosen lain cuman nitip nama. Ribet. Apa susahnya coba bantuin orang lain? Diikhlasin aja lah biar nanti dapet pahala." Tetap saja kamu diam mendengarkan. "Terus kemarin pas dikasih duit sama atasan, dia tolak. Dia k

Ah, Manusia!

Gambar
Taman Nukila, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi) "Udah disediain tempat sampah kok ya tetep aja buang sampah sembarangan!" Kita menoleh ke arah yang sama, pada seorang laki-laki yang duduk di kursi taman sebelah kita. Kedua matanya memandang tajam pada segerombolan anak muda yang baru saja melepaskan gelas plastik bekas tempat minum mereka dengan bebas ke tanah. "Ah, manusia. Bisanya cuman komen," kataku. "Siapa?" tanyamu pelan. "Hmm," jawabku seraya menunjuk laki-laki di sebelah kita dengan daguku, tak ingin terlalu kentara. Kamu tersenyum geli. "Ya udahlah, angkat aja sampahnya terus masukin ke tempat sampah. Selesai." "Idih. Males. Emang sampahnya siapa? Kenapa juga harus aku yang buangin ke tempat sampah?" elakku. Kamu menatapku dengan kedua alis yang terangkat, lalu tertawa kecil sebelum akhirnya berdiri, mengambil sampah-sampah bekas minuman itu, memasukkannya ke tempat sampah. Dasar kurang kerja