Berat



"Hidup di negara ini makin susah aja setiap hari. Disuruh kerja kerja kerja terus. Udah gitu harus capai target kerjaan pula. Bayangin dong. Aku harus dapet dua puluh klien sebulan."

"Susah lagi kerja di kantorku. Aku sebulan harus dapet tiga puluh pelanggan. Berat loh nyari tiga puluh pelanggan dalam sebulan."

"Tiga puluh aja ngeluh berat. Targetku empat puluh pelanggan sebulan. Bayangin, dong. Apa nggak lebih berat lagi itu?"

"Tapi, kayaknya kerjaan dia yang lebih berat, deh!"

Mereka lantas menoleh pada sumber suara, sebelum akhirnya ganti menoleh pada laki-laki yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan. Pada dia yang ditunjuk oleh si sumber suara.

"Berat? Berat apa? Dia itu enak kali, nggak harus cari pelanggan kayak kita. Udah PNS, tiap bulan dapet gaji, dapet tunjangan kinerja, nanti pensiun masih dapet duit pensiun lagi. Kerjaan dia tuh enak. Kan cuma ngajar aja."

"Iya. Dia kan cuma ngajar. Nggak harus banting tulang kayak kita."

"Justru itu. Justru karena dia pengajar, maka beban kerjanya lebih berat dari kalian loh. Dia memang tak harus cari pelanggan. Tapi dia harus bisa membuat manusia yang tak siap kerja, menjadi siap kerja. Membuat manusia yang tak tahu menjadi tahu. Bukannya berat itu?"

"Iya juga sih ya?"

"Lebih berat lagi, dia ini harus bisa menghasilkan manusia yang siap membangun negara ini, yang nggak cuma bisa mengeluh dan menyombongkan betapa beratnya hidup mereka, loh."

"Hmmm.. Mulai, deh. Sudah. Ganti topik saja. Selesai mengeluhnya!"

#20180205

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil