Pulanglah

Pantai Pelang Panggul, Trenggalek, Jawa Timur


"Pulang!" katanya begitu memasuki bilik kerjaku.

Aku yang masih disibukkan dengan pekerjaan di laptopku hanya mengangguk dan mengiyakan sekenanya. Pekerjaan ini harus selesai hari ini. Aku tak mau jika besok pagi masih harus menyelesaikan ini lagi. Besok masih ada pekerjaan lain yang menunggu.

"Pulang," katanya lagi.

Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan mejaku. Mau tak mau aku mengangkat wajah.

"Ini sudah mau magrib," katanya.

"Iya, Pak. Saya memang sengaja mau tunggu magrib dulu baru pulang."

"Sudah. Cukup kerjamu hari ini. Kasihan matamu. Berapa jam kamu pakai dia menatap layar laptop seperti itu? Memangnya negara membayar berapa jika nanti terjadi apa-apa dengan matamu? Berapa banyak yang akan ditanggung negara untuk pengobatanmu?"

Jari-jariku mulai berhenti mengetik sekarang.

"Belum lagi jantungmu, otakmu, hatimu. Yang kamu kerjakan itu memeras pikiran, memforsir jantung. Jika tubuhmu terlalu lelah, hatimu juga bisa kena nanti. Berapa banyak negara akan mengganti itu? Bisa memangnya negara ini mengganti itu?"

Aku diam menatapnya. Selama ini tak ada yang bertanya padaku seperti ini. Tak ada yang pernah sepeduli ini. Bahkan aku pada diriku sendiri pun tidak. Mengapa manusia yang satu ini begitu peduli?

"Sudah. Dilanjutkan besok saja tak apa," katanya.

Aku terbangun. Ah, sial. Ternyata cuma mimpi!

#20180207

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil