Dua Puluh Tiga



Hari ini tidak ada air mata. Tidak lagi. Mungkin ibu sudah lelah. Atau mungkin ibu sudah mulai bisa melepaskan.

"Besok pagi antar ibu ke makam bapak, ya?" katanya sewaktu memasuki kamarku sebelum tidur semalam.

Aku mengiyakan dengan perasaan penuh kekhawatiran. Aku khawatir besok paginya akan ada banjir air mata seperti biasa. Aku khawatir tak akan bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya, pun menguatkan hati untuk diam membiarkannya.

Tapi ternyata aku salah. Pagi tadi selepas subuh ketika aku mengantarnya, ibu bercerita tentang segala hal yang dibacanya di kolom berita di internet tentang politik dan ekonomi. Padahal dulu, biasanya ibu hanya diam saja seolah suaranya tertelan kesedihannya sendiri. Untunglah.

Lalu di makam bapak, kami hanya membersihkan makamnya, menghilangkan dedaunan dan bunga-bunga kering yang ada di atas gundukan tanahnya, lalu membersihkan sekitarnya dan menaburkan bunga setelah memanjatkan doa.

Aku meliriknya. Pagi tadi tak ada air mata. Hanya senyuman dan usapan pelan di atas nisan bapak.

"Dua puluh tiga tahun," kata ibu pelan sewaktu membaca tanggal yang tertulis di atas nisan.

Mungkin karena hari ini sedang puasa. Atau mungkin karena ibu memang sudah mengikhlaskan. Entahlah. Yang jelas, aku bahagia sewaktu melihat ibu bisa tersenyum tanpa ada lagi air mata.


Sukoharjo, 27 Mei 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil