Matahari

Pantai Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara
(Dokumen Pribadi)

"Matahari!" serunya.

Aku menghentikan motor, memarkirkannya di pinggir jalan lalu mengikuti langkahnya menerobos semak-semak.

"Cuma matahari. Apa bagusnya?" tanyaku, tak paham dengan kecintaannya yang luar biasa pada bintang raksasa itu.

"Memangnya kau tak suka pada matahari?" tanyanya sambil sibuk mengabadikan matahari terbit di timur sana itu dalam fotonya

"Bukan tak suka. Cuma, tak sefanatik dirimu saja."

"Siapa yang fanatik?"

"Kamu lah. Siapa lagi. Waktu orang lain galeri fotonya berisi foto manusia, foto selfi. Kamu? Galeri kok isinya matahariiii saja. Pergi ke mana-mana yang dicari sunset sama sunrise."

Dia tergelak.

"Pengagum," katanya kemudian. "Aku ini pengagum matahari."

"Matahari terbenam memang cantik sih," kataku.

"Bukan itu juga sih sebenarnya."

"Lalu apa?"

"Dia itu pusat tata surya, semua planet berputar di sekitarnya. Dia juga sumber kehidupan yang jika tak ada dia, bumi akan gelap lalu mati. Tapi, tidakkah kamu lihat, setiap pagi dan petang tetap saja dia rukuk dan bersujud. Setiap hari. Begitu patuh. Bukankah itu mengagumkan?"

Tidak. Itu tidak mengagumkan. Bagiku, itu lebih serupa tamparan: kata-katamu barusan. Sedangkan matahari yang begitu hebatnya saja masih mau rukuk dan sujud pada pencipta-Nya. Mengapa aku, yang bukan siapa-siapa, berani merasa angkuh dan enggan bersujud?


Sukoharjo, 31 Mei 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil