Selalu Ada



"Kau masih saja selalu menunggunya seperti ini?"

Kau menoleh padaku. Aku yang tanpa menunggu persetujuanmu, langsung ikut duduk di sisimu.

Kepalamu terangguk. Lalu untuk sesaat tak ada lagi tanya. Tak ada jawab. Hanya ada kita dengan kedua mata menatapi hamparan langit yang diwarnai jingga dan sedikit biru. Sedikit kelabu.

"Sedangkan dia tak selalu hadir," kataku kemudian. Kedua kakiku, sama denganmu, menggantung di udara, belasan meter dari tanah di bawah sana.

"Tapi dia selalu ada."

"Ada." Aku bergumam. Ada senyuman pahit di wajahku sewaktu kamu menoleh, menatapku. "Ada," kataku lagi, lebih jelas dari sebelumnya. "Bagaimana bisa kau begitu yakin? Padahal jelas-jelas dia tak selalu hadir. Kadang dia ungu, kadang kelabu, kadang bahkan gelap tak menyenangkan karena tertutup awan yang melahirkan hujan. Si Oranye yang selalu kau tunggu, yang kau tahu tak selalu datang."

"Ada itu tak selalu harus bisa dilihat dengan mata. Tak harus selalu seperti itu," katamu. "Ada itu akan tetap menjadi ada. Bisa dalam suara, aroma, bahkan rasa. Di sini." Kau menunjuk jantungmu sendiri.

"Hmmm.. setelah ini kau akan menasehatiku tentang udara," kataku seraya berpaling pada langit sore di hadapan kita, tak ingin menatapi kedua mata teduhmu.

"Kau tahu."

Aku bisa mendengar senyuman di suaramu.

"Ya aku tahu," jawabku.

"Jadi, tak perlu?"

Aku menarik napas dalam, membuat kedua bahuku naik. Aku tak menjawab, hanya diam menatapi sapuan oranye di bentangan langit senja di hadapan kita.

"Dia selalu ada. Hanya tinggal kau percaya atau tidak. Hanya tinggal kau. Kau biarkan hatimu merasakannya atau tidak," katamu.

Kali ini kau berhasil membuatku menoleh padamu. Senyumanmu menyambutku.

"Sama juga dengan Dia yang ada di atas sana, di arsy-Nya sana."

"Dia..." Ada nada mencemooh yang terdengar jelas dari suaraku. Aku tahu. "Dia meninggalkanku."

"Siapa meninggalkan siapa?"

"Dia." Aku berkeras. "Meninggalkanku."

"Dia tak pernah meninggalkan. Bahkan ketika kita meninggalkan-Nya, Dia selalu ada."

Aku tak menjawab.

"Setiap kali kau merasa Dia jauh, kau masih bisa hidup? Makan? Minum? Bangun dari tidurmu? Menghirup napasmu?"

Aku tak menjawab.

"Dia tak pernah meninggalkanmu. Dia tak pernah menjauh. Jika memang rasanya begitu jauh, itu tanda buatmu untuk pulang, untuk mendekat pada-Nya."

Aku tak menjawab, hanya melirik ke atas, ke arah Dia seharusnya berada, lalu dengan malu mengirimkan senyuman untuk-Nya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil