Televisi



"Akhirnya televisiku kujual."

"Kenapa?"

"Lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya."

"Begitu ya?"

"Iya. Coba saja kau lihat. Dari pagi sudah diisi acara gosip selebritis. Kalo tidak, acara musik tak jelas, yang pembawa acaranya becanda tak jelas, sering saling menghina. Menghina fisik lagi. Sama sekali bukan contoh yang baik untuk anak-anakku. Kalo tidak, ya sinetron. Tak mendidik juga. Anak sekolahan kok kelakuannya kayak gitu. Atau kalo tidak, sinetron india. Isinya tak jauh berbeda, tentang kehidupan orang-orang kaya. Kalo tidak, ya.... Bla.. Bla...bla..."

"Hmm.. Bagus juga usahamu."

"Iya. Tak bagus anak-anak tumbuh bersama televisi."

"Bisa jadi."

"Itulah. Makanya tak perlu lah ada televisi di rumah."

"Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi apa gunanya kamu jual televisimu, tak kamu perbolehkan anak-anakmu tumbuh bersama televisi. Tapi di rumahmu kamu pasangi fasilitas internet dan kamu biarkan anak-anakmu bermain dengan gadget mereka, menjelajahi internet tanpa kamu awasi, kamu bebaskan pakai sebanyak apa pun, menjelajah apa pun?"

"........"

"Jika menurutku, bukan bendanya yang salah, yang banyak mudharatnya. Tapi bagaimana manusianya memanfaatkannya. Tak apa anakmu tumbuh dengan televisi, asal kamu awasi. Masih banyak kok saluran yang menayangkan siaran edukatif, tinggal kita yang milih aja gimana. Malah, menurutku jauh lebih mudah mengawasi apa yang ditonton mereka lewat televisi daripada apa yang mereka jelajahi lewat internet. Dan yang jauuuh lebih penting dari itu, ya kehadiran kita. Kita perlu benar-benar hadir mendampingi mereka, mendengarkan celoteh mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan polos mereka."

Aku tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Manusianya. Iya, aku sepakat dengannya.


Photo source: http://www.vnovember.com/tag/television/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil