Nasihat Tentang Sebuah Nasihat

source: http://www.istockphoto.com



"Katanya orang beragama, kok kayak gitu?" Ada senyuman di wajah laki-laki itu.

Perempuan yang duduk di salah satu kursi pelanggan itu memandangnya dengan bingung. "Kayak gitu gimana?"

"Itu." Laki-laki itu melirik ke arah ponsel yang ada di genggaman tangan si perempuan.

Perempuan itu masih saja tak paham, masih saja mengerutkan dahi. Jadi akhirnya si laki-laki meletakkan cangkir kopinya, menarik kursi, lalu duduk di hadapan perempuan itu.

"Aku barusan baca tautan yang kamu bagi," kata si lelaki.

"Terus? Ada yang salah?" kata si perempuan.

Laki-laki itu mengangkat kedua alisnya. "Menurutmu bagaimana?"

"Nggak ada yang salah kayaknya."

"Ya, aku tahu tujuanmu baik. Aku yakin."

"Tapi?"

"Tapi, jujur saja. Aku tak setuju dengan cara seperti itu."

"Seperti itu bagaimana?"

"Menasihati orang di ruang terbuka. Media sosial itu ruang terbuka. Semua temanmu, semua teman orang yang kamu nasihati itu bisa membacanya. Kasihan dia."

"Dia temanku. Ketika dia berbuat kesalahan, aku wajib menasihatinya." Ada nada pertahanan diri dari perempuan itu.

Laki-laki itu tersenyum. "Kalau kamu melakukan kesalahan di sini, kemudian kutegur dengan suara yang keras sampai semua orang di kedai ini mendengar suaraku, apa yang akan kamu rasakan?"

Perempuan itu menundukkan kepala. Sebelah tangannya mengaduk-aduk isi gelas plastiknya dengan sedotan.

"Kamu nggak suka dinasihati di depan umum?" tanya laki-laki itu lagi.

Perempuan itu tak menjawab. Kepalanya masih saja tertunduk. Laki-laki menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya. Kedua matanya memandangi perempuan yang ada di hadapannya. Ada rasa sayang yang tergambar di sana. Sudah nampak semenjak dia mendatangi meja itu sebenarnya.

"Aku tahu kamu tak suka kunasehati di depan umum. Makanya aku tak menuliskan komentarku di statusmu. Padahal aku bisa. Aku hanya tak bisa menyakiti hatimu," kata lelaki itu pelan. Dia masih memandangi perempuan yang ada di hadapannya lalu menarik kursinya, mendekatkan diri ke meja, dan mengulurkan tangan, meraih perempuan yang ada di hadapannya. "Dek," panggilnya.

Perempuan itu mengangkat wajah.

"Kamu itu adikku. Tentu aku mau yang terbaik buatmu. Makanya pasti akan kuberikan nasihat padamu. Tapi aku tak suka menyakiti hatimu, jadi akan kuberikan nasihat dengan cara yang tak menyakitimu. Lagipula, begini memang bagaimana agama kita mengajarkan tentang memberi nasihat. Tidak dengan kata-kata yang menyakitkan, tidak menyudutkan, dan tidak di depan umum." Lelaki itu menelengkan kepalanya dan menaikkan kedua alisnya.


Perempuan itu tak mengatakan apa-apa, hanya diam menatap lelaki yang ada di hadapannya.

"Dia, yang namanya kamu sebut dalam statusmu itu, dia lebih muda darimu. Dia adikmu. Kasihan dia kamu pojokkan seperti itu. Kasihan dia, kamu menggunakan kata-kata yang menusuk hatinya seperti itu. Kamu tuliskan di tempat yang banyak orang bisa membaca pula. Apa tak kasihan kamu padanya? Apa tak bisa kamu hubungi dia langsung lewat percakapan pribadi, lalu kamu berikan nasihat dengan kata-kata yang tak menyakiti hati?"

Perempuan itu masih saja diam.

"Sedang pada Fir'aun yang jelas-jelas sudah menganggap dirinya tuhan, Alloh masih menyuruh Nabi Musa dan Harun untuk menasihatinya dengan lemah lembut, mengapa pada adikmu, saudaramu seiman, yang hanya masih perlu belajar lebih banyak saja, kamu menggunakan kata-kata yang begitu menyakitkan hati?"

Laki-laki itu tersenyum begitu memandangi kedua mata adiknya. Entah apa yang dia temukan di sana.

"Jadi, bisa ya kamu hapus tautanmu itu, lalu kamu sapa dia secara pribadi dan kamu berikan nasihat secara pribadi yang tak menyakiti?"

Kepala perempuan itu terangguk pelan.

#Nasihat

Sumber Bacaan:
1. Menasehati Tanpa Melukai
2. Nasehat adalah Cinta


source:imgur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil