Telanjang

Source: pinterest


"Sini, deh!" Aku melambaikan tangan padamu yang baru saja mengunci pintu depan kedai kopi kita dan memasang tanda tutup.

Kamu berjalan cepat mendatangiku, tak banyak bertanya.

"Ini nih.. Coba lihat. Ada video eksperimen sosial." Aku menyerahkan ponselku padamu.

Kamu masih tak mengatakan apa-apa. Masih saja menurut lalu menonton video yang kusuguhkan. Video tentang seorang wanita yang tubuhnya dilukisi seolah memakai celana jin ketat, skinny jeans orang bilang. Lalu dia diminta berjalan kaki di tengah kota New York. Saking hebatnya pelukis itu, tak seorang pun menyadari bahwa sebenarnya waniya itu tak bercelana, hanya memakai celana dalam saja. Ya walaupun pada akhirnya ada juga yang menyadari dan mencuri gambarnya dari dekat secara sembunyi-sembunyi.

"Hmmm.." Kamu menyorongkan kembali ponselku sambil tersenyum lalu mulai mengangkati kursi-kursi di kedai yang sudah tutup ini, menaikkannya ke atas meja agar nanti aku lebih mudah membersihkan lantainya.

"Hmm kenapa?" tanyaku. "Bagaimana? Keren ya?"

"Apanya yang keren?" tanyamu.

"Lukisannya. Bisa beneran kelihatan nyata gitu."

"Iya. Tapi lebih keren lagi pesannya. Pesan tersembunyi dari video itu."

"Pesan tersembunyi apa?" tanyaku penasaran.

"Bahwa memakai skinny jeans itu sebenarnya tak berbeda dari telanjang."

"Heh.. Jangan sembarangan!" sungutku. Enak saja. Itu kan pakaian. Masak memakai pakaian dibilang telanjang.

Kamu menghentikan pekerjaanmu lalu menoleh ke arahku yang masih belum beranjak dari balik konter, masih memegangi ponsel.

"Itu buktinya. Orang tak bisa membedakan apakah dia telanjang atau tidak. Orang tak tahu bahwa sebenarnya dia telanjang. Yang orang lihat adalah bagian bawah tubuhnya tertutup oleh jins. Bukannya sama saja dengan ketika kita memakai skinny jeans yang sebenarnya?"

"Apa, sih? Bicaramu seperti benang kusut. Ruwet. Aku nggak ngerti." Aku memasukkan ponsel ke dalam saku lalu melangkah cepat ke dapur, mendatangi lemari penyimpan alat kebersihan, dan mengeluarkan sapu dari sana.

"Pakaian itu seharusnya untuk menutupi, bukan sekedar melapisi. Menutupi supaya lekuk tubuhmu itu tidak menjadi sumber pemuas nafsu lawan jenismu." Kata-katamu menyambutku.

Aku memutar bola mata. Malas. Tahu akan mendapatkan kuliah darimu setelah ini.

"Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menanyakanku: ‘Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?’. Kujawab, ‘Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah’. Beliau berkata, ‘Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya’," katamu panjang lebar. "Sebuah hadits dari Usamah bin Zaid. Hadits ini hasan, sebuah dalil yang menunjukkan haramnya mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh. Pakaian Quthbiyyah adalah pakaian dari Mesir yang tipis. Jika tidak dikenakan baju rangkap di dalamnya, maka akan nampak bentuk tulangnya sehingga nampaklah aurat wanita. Bahkan nampak pula warna kulitnya."

"Jadi intinya kita ini perempuan harus diikat aturan macem-macem karena lelaki nggak bisa ngontrol nafsunya? Kok nggak adil banget!" Aku masih bersungut, tak suka setiap kali pembahasan ringan kita selalu berakhir menjadi begitu berat dan penuh nasihat seperti ini.

Kamu tersenyum lalu mendatangiku dan mengacak puncak kepalaku. "Adikku sayaaang," katamu. "Jangan manyun gitu ah. Kapan-kapan kita bahas tentang itu lagi. Ini sudah malam. Ayo cepat selesaikan pekerjaanmu biar kita bisa cepat pulang."

"Auk!" jawabku.

"Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” Kamu menatapku. "Hadits riwayat Muslim," katamu.

Kita lantas hanya diam dan saling menatap.

"Kamu itu adekku. Kamu anak perempuan bapak, adek perempuanku. Dan aku laki-laki. Aku punya kewajiban buat ngejaga kamu. Jadi aku bakal lakukan kewajibanku sebaik-baiknya buat jagain kamu."

Aku berhenti menyapu, mematung menatapmu, menatap wajahmu yang dihiasi senyuman.

"Setiap hal yang kukatakan padamu, yang aku mau sebenarnya cuma satu itu, ngejaga kamu. Ngejaga kamu di dunia, ngejaga kamu dari neraka." Kamu tersenyum lagi sebelum kemudian memasuki dapur.

Aku masih berdiri di sini, dengan sebelah tangan memegang gagang sapu, kedua mata yang mulai basah, dan hati yang dijejali rasa malu karena sudah kesal dengan semua nasehatmu.





Sumber ide:

Wanita yang Berpakaian tapi Telanjang, Sadarlah!


Musibah Pakaian Ketat Pada Muslimah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil