Obrolan Sepiring Takjil



"Kak, udah mau adzan," bisikku padamu di dapur.

"Iya." Kamu mengangguk pelan dan tersenyum. Kedua tanganmu masih sibuk meracik secangkir kopi pesanan pelanggan.

"Takjilnya aku siapin di sini aja, ya?"

"Iya." Kamu membawa cangkir kopi keluar dari dapur.

Aku mulai membuka kue-kue yang tadi sengaja kubeli untuk persiapan buka puasa. Tak banyak. Ah, bohong. Banyak juga sebenarnya. Biasalah, lapar mata. Ingin ini itu setiap kali puasa seperti ini.

Pintu dapur kembali terbuka bersamaan dengan suara adzan yang terdengar dari masjid sebelah. 

"Banyak banget takjilnya," komentarmu.

"Ya namanya juga buat buka puasa ini. Seharian nggak makan sama minum." Aku melakukan pembelaan.

Kamu menggeleng-gelengkan kepala lalu duduk di kursi plastik dan mulai membatalkan puasamu.

"Menahan diri," katamu tiba-tiba.

"Hmm?" Aku menaikkan kedua alis, tak paham dengan maksudmu.

"Puasa itu menahan diri dari hawa nafsu dunia. Termasuk makan dan minum. Kita diminta menahan diri supaya kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan akhirat, memikirkan hal yanh baik," katamu panjang lebar.

Here we go again. Aku tahu kamu akan mulai berhotbah setelah ini. Menyebalkan.

Kamu sepertinya membaca mimik mukaku. Kulihat kamu tersenyum geli.

"Dengan menahan diri, kita jadi tahu gimana rasanya kalo nggak bisa makan, gimana rasanya kekurangan. Jadi kita akan bisa lebih bersyukur dengan apa yang kita punya."

Aku tak mengatakan apa-apa, membiarkanmu mengoceh begitu. Biarlah. Biar kamu puas.

"Sayangnya, kayaknya kita ini sering nggak belajar, nggak dapet hikmahnya. Tiap kali puasa bukannya banyak mengingat Alloh, malah mengingat nanti beli takjil apa, buka puasa pake apa. Bukannya berusaha menahan diri supaya tahu gimana rasanya lapar, malah belanja makanan berlebihan, buka puasa beli semua makanan, sahur siapin makanan yang enak-enak."

"Halah. Kamu juga mau kan kalo kubeliin makanan. Ini buktinya, kamu makan juga. Muna," cibirku.

Kamu tergelak. "Kok kamu sewot?" tanyamu. "Kan aku nggak nyalahin kamu. Aku ngebahas kita, manusia secara umum. Ya aku masuk juga di dalamnya."

"Iya iyaaa.. Jadi maunya gimana? Nggak usah makan gitu?"

"Ya nggak gitu juga, Sayaaang. Makan boleh. Tapi jangan berlebihan. Nggak usah berlebihan. Biar kamu nggak ngeluh pengeluaranmu jadi bengkak setiap kali puasa kayak gini."

Aku mengangkat wajahku dan meringis malu. Ingat aku mengeluh padanya di awal bulan lalu sewaktu menghitung rencana pengeluaran bulan ini.

"Udah, jangan sewot terus. Wudhu terus sholat. Biar kepala sama hatimu adem." Kamu berdiri.

"Jadi besok gimana? Nggak sahur?"

"Sahur. Tapi seadanya aja. Sama kayak menu makan kita biasanya. Nggak perlu harus beli daging, nggak perlu harus enak. Buka puasa juga."

"Jadi besok nggak beli takjil nih?"

"Boleh. Asal nggak berlebihan. Udah. Aku ke masjid dulu."

Aku memandangi punggungmu yang tak lama menghilang di balik pintu.

Aih, malunya aku. Malu aku sama Alloh-ku. Salah aku menafsirkan puasaku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil