Prioritas

source: tumblr


Brak!!!

Aku bukan satu-satunya orang yang menoleh sewaktu mendengar suara yang cukup keras itu. Beberapa pengunjung kedai juga ikut menoleh pada sumber suara. Seorang perempuan. Dia baru saja membanting ponselnya ke atas meja dengan kesal.

"Maaf." Perempuan lain yang duduk semeja dengannya langsung memasang senyuman dan meminta maaf kepada semua kepala yang menoleh pada mereka.

Lalu kepala-kepala itu mulai berpaling dari mereka.

"Kenapa lagi, sih?"

"Orang kantor nih. Nyebelin bener."

"Nyebelin gimana?"

"Udah tau punya kerjaan kelompok. Tadi siang nggak tau dia di mana, nggak dateng. Kutelponin ga diangkat. Terus kan akhirnya aku sms. Nggak dibales juga. Sampe sekarang. Tapi ini barusan bisa dia apdet status."

"Ya mungkin dia nggak ada pulsa sms."

"Tapi kan pulsa internet. Kenapa ga whatsapp atau bbm aja?"

Perempuan itu mengangkat bahu.

"Lagi-lagi sebenernya emang tentang prioritas." Wajah perempuan itu masih saja sekesal tadi.

"Prioritas?" tanya temannya.

"Iya. Kalo kita dianggap penting, urusan kita dianggap penting, pastinya ada usaha dong buat nyelesein. Ini nggak ada usahanya sama sekali. Berarti kan urusan ini dia anggap nggak penting. Berarti aku ini dia anggap nggak penting. Bukan prioritas."

Perempuan yang satunya lagi mengangguk-angguk. Tapi lantas dia menghela napas.

"Kenapa?" Rasa kesal di wajah perempuan itu berubah penuh tanya.

"Itu...," kata temannya. "Prioritas."

"Kenapa dengan prioritas?"

"Aku baru sadar." Dia mengambil jeda sejenak. "Benar katamu. Jika sesuatu itu memang menjadi prioritas kita, menganggapnya penting, pastinya kita akan selalu berusaha mendahulukannya."

"Hmm? Okaaay... Aku tetep nggak paham pembicaraan ini mengarah ke mana."

"Menurutmu Tuhan itu penting, Ta?" tanya temannya.

"Lah, kenapa mendadak ngebahas Tuhan?"

"Itu tadi. Soal prioritas." Perempuan itu tersenyum. "Selama ini kita... Maksudku, aku. Selama ini aku selalu bilang kalo Tuhanku itu penting. Kalo akhirat itu ada dan penting sekali untuk menyiapkan diri tentang itu."

"Lalu?"

"Lalu... Aku sadar bahwa selama ini semua yang kukatakan itu hanya omong kosong. Jika memang Tuhanku itu penting, tentunya tak pernah kutunda-tunda sholatku. Tak pernah malas aku membaca kitabku. Tak pernah kuperlakukan manusia lain, makhluk lain dengan tak baik. Iya, tidak?"

Aku menegakkan tubuh bersiap pergi.

"Mau ke mana?" tanyamu.

"Sholat dulu," jawabku sambil melirik malu ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat tiga puluh.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil