Pohon Berdaun Merah

Source: appraw.com


"Wah, gambarnya bagus ya?" pujiku sambil meletakkan segelas es susu cokelat dan secangkir capucino panas ke atas meja.

Anak perempuan itu mengangkat wajah, menatapku, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih," jawabnya dengan sopan.

"Roti bakar dan pisang cokelatnya tunggu sebentar lagi, ya?" kataku lagi.

Wanita yang duduk di hadapanku, yang sedang sibuk menelpon, hanya mengangguk sambil lalu. Aku lantas berlalu.

"Itu pohon?" Suara wanita yang sedang menelpon tadi. Aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku benar. Sewaktu aku berbalik, dia sedang menunjuk ke gambar yang ada di hadapan anaknya.

"Iya, Ma," jawab anak perempuan itu.

"Masak pohon daunnya warna merah? Pohon itu daunnya hijau." Wanita itu meraih pastel berwarna hijau dari dalam kotak pastel anaknya. Dua buah, dua jenis warna hijau. "Pakai warna gelap di bagian luar. Lalu lanjutkan dengan warna yang lebih muda di dalam, seperti biasa."

Anak perempuan itu menurut. Menyingkirkan kertas gambarnya yang berisi pohon merah tadi ke tepi lalu mengambil kertas baru, kembali membuat gambar pohon. Namum kali ini dia memakai pastel berwarna hijau, mengikuti perintah mamanya.

"Nah, gitu. Masak pohon kok merah," komentar wanita itu lagi.

"Kenapa?"

Aku menoleh. Kamu baru saja membawa keluar baki yang berisi sepiring roti bakar dan sepiring lagi pisang cokelat, meletakkannya ke atas meja.

"Nggak papa." Aku meraih baki itu lalu mengantarkan pesanan.

"Semak itu daun, Adeek. Masak semak warnanya ungu. Kamu ini dari tadi kok aneh-aneh aja, sih. Yang bener dong gambarnya!" Nada suara itu agak tinggi.

"Mmm, maaf. Pesanannya sudah semua, ya?" tanyaku.

Lagi. Wanita itu mengangguk sekenanya, sambil lalu saja. Jadi aku segera berlalu saja, kembali ke belakang meja kasir.

"Kamu pasti gatel banget ya pengen ngomenin ibu itu," katamu. Entah kapan kamu keluar dari dapur.

"Sok tau," jawabku.

"Halah. Aku tuh kakak kamu. Tahu aku apa yang ada di otakmu."

"Masih ada ya manusia yang ngedidik anaknya kayak gitu? Ya pasti seneng sih punya anak patuh. Cuman buatku kok itu nggak mendidik ya? Memaksakan kehendak kalo kubilang."

Kamu menaikkan kedua alis dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Bukannya pohon maple itu daunnya merah? Terus, siapa bilang semak nggak ada yang warna ungu? Bunga eva warnanya ungu. Nggak semua harus hijau, kan?" kataku.

Kamu tersenyum geli. Sama seperti biasanya setiap kali aku kesal.

"Udah. Jangan ngomongin orang. Dosa," katamu.

"Aku nggak ngomongin oraaang. Aku ngomongin hidup. Buat apa punya anak yang patuh tapi tak punya inisiatif? Mau mendidik manusia apa robot, sih?"

"Hus! Mulutmu itu, loh."

"Kenapa? Memang kenyataannya gitu kok. Sama juga di sekolah. Kenapa dulu aku nggak suka sekolah? Ya karena itu. Karena di kelas aku cuman dididik buat patuh. Pokoknya harus ikut aturan, ikut perintah guru, nggak boleh melawan, nggak boleh nanya macem-macem, nggak boleh protes."

"Aturan kan dibuat untuk mengatur, Dek. Biar hidup itu lebih teratur. Coba bayangin kalo di dunia ini nggak ada aturan? Menurutmu bakal chaos nggak?"

"Aturannya nggak salah, Kak. Manusianya. Aku kan nggak ngomong kalo aturannya salah. Manusianya yang salah. Harusnya kan pendidikan itu mendidik seseorang untuk menjadi manusia. Yang namanya manusia itu kan punya otak. Jadi harusnya pendidikan itu menjadikan manusia bisa berpikir. Manusia itu punya hati. Jadi harusnya pendidikan itu menjadikan manusia memakai hatinya. Nggak cuman sekedar teorinya begini, jadi harus ikut begini."

Kamu mengangguk-angguk.

"Then do something," katamu.

"Do what?"

"Ya apa aja. Lakukan sesuatu yang nyata buat ngingetin dunia kalo sistem itu salah. Kalo ada yang harus diubah."

"Bangun sekolahan sendiri gitu?"

"Mendidik tak harus di sekolah."

"Ini pun kamu sedang mendidikku."

"Jadi maksudmu?"

Kamu mengangkat bahu. "Do something," katamu.

"Mama, lihat!"

Suara anak perempuan itu membuatku menoleh. Sebelah tangannya menunjuk ke televisi.

"Pohon itu berdaun merah," katanya sambil tersenyum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil