Berkah




myblogsantai.blogspot.com



Aku menghempaskan tubuhku dengan kesal ke atas kursi tamu empuk di depan ruang kepala bagianku. Hari sudah menjelang malam sewaktu aku keluar dari ruangan menyebalkan itu. Ya, menyebalkan. Ruang itu diisi oleh manusia paling menyebalkan sedunia. Manusia egois yang seenaknya saja memotong pendapatan orang lain.

“Masak egois?” tanya suara dari sisiku, seolah bisa membaca isi kepalaku.

“Apa lagi namanya kalau bukan egois? Gaji itu kan hakku. Tunjangan kinerja itu kan juga hakku. Punya hak apa dia memotong pendapatanku seperti itu?”

“Bukannya aturannya memang seperti itu? Ketika kamu tak masuk kerja tanpa keterangan, ada sanksinya, kan?”

“Siapa bilang aku tak masuk kerja, hah? Aku masuk kerja!”

“Itu kan katamu. Atau, yah, baiklah. Kamu memang masuk kerja. Tapi pukul berapa kamu datang dan pukul berapa kamu pulang? Sesuai tidak dengan aturan?” tanyanya. Aku diam. “Kau tahu kan bagaimana peraturannya? Bagaimana perhitungan keterlambatan dan hubungannya dengan perhitungan ketidakhadiran?”

“Ya ya, aku tahu.”

“Kamu tahu juga kan jika itu salah, melanggar peraturan jam kerja?”

“Iya.” Aku tak lagi bisa menyembunyikan nada kesal di suaraku. Aku tak suka dipojokkan seperti ini.

“Jika kamu sudah tahu bahwa semua itu salah, mengapa masih saja kau lakukan? Mengapa masih saja kamu melanggar aturan? Lebih parahnya lagi, kamu melakukan semua itu dengan sengaja. Lalu setelah terkena sanksinya, kamu mengeluh, mengumpat, mengatakan atasanmu egois. Di mana otakmu?”

“Jaga mulutmu!” kataku, benar-benar tak lagi bisa menahan emosi. “Gaji itu hak ku! Rejekiku! Aku butuh uang itu untuk anak istriku. Anakku sakit-sakitan. Aku butuh uang itu,” kataku.

“Hakmu?” tanyanya. “Mengapa sih kamu ini tak bersyukur sama sekali? Kamu itu sudah tak bekerja sekian hari. Datang ke kantor saja, kamu tak melakukan apa-apa,hanya duduk lalu bercerita. Masih bagus gajimu utuh. Masih bagus hanya tunjangan kinerjamu yang tak diberikan. Lagi pula, hak apa yang kamu miliki atas tunjangan kinerjamu bulan lalu? Tunjangan KINERJA.” Dia memberikan tekanan pada kata terakhirnya. “Apa hasil kinerjamu yang berhak untuk diberi tunjangan? Ada?” tanyanya. “Hakmu sudah hilang ketika kamu tak datang tepat waktu. Hakmu sudah hilang ketika kamu tak melaksanakan pekerjaanmu.”

Aku tak menjawab. Amarahku terlalu besar untuk menjawab. Kesombonganku terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan.

“Dan hei, coba pikirkan lagi. Coba kamu renungkan lagi. Siapa tahu, sakitnya anakmu itu karena dia terlalu sering memakan gajimu yang tak berkah itu. Siapa tahu itu sebenarnya adalah nasehat buatmu, agar kamu bekerja lebih baik lagi, agar sesuai gaji yang kamu terima dengan kinerjamu.”

“Hah, terserah!” teriakku frustrasi.

Aku berdiri, meninggalkan tempat itu. Meniggalkan suara dari udara kosong yang menasehatiku panjang lebar tadi. Malas mengajak pulang suara rasional dari sisi hatiku itu dan lebih memilih untuk meninggalkannya di sana bersama udara yang tak berisi apa-apa.

Berkah.. berkah.. Berkah apa?!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil