Tentang Aksi, Tentang Reaksi



Jika saya tidak salah ingat, saya mendapatkan pelajaran tentang hukum aksi-reaksi di kelas satu SMA, di mata pelajaran Fisika. Seingat saya, Pak Guru yang mengajar mata pelajaran itu menggambarkan sebuah kotak besar di papan tulis dengan tanda-tanda panah di atas dan di bawahnya yang menunjukkan besaran gaya dan entah apa lagi. Jujur saja, otak saya ini tidak pernah bisa menyerap ilmu Fisika dengan baik semenjak dulu. Setiap kali membaca soal fisika, mesin-mesin penggerak berpikir saya sepertinya langsung berhenti. Makanya, sebenarnya saya ini termasuk beruntung ketika bisa lulus dari kelas IPA di SMA dulu.

Saya sebenarnya tidak sedang ingin membahas tentang pelajaran fisika itu sendiri. Yang ingin saya bahas adalah hukum fisika itu, gaya aksi reaksi. Newton menjelaskan bahwa akan ada reaksi yang muncul dari setiap aksi yang mengenai suatu benda dan besarnya gaya reaksi ini akan sama besar dengan gaya aksi yang menimbulkannya. Dulu saya pikir, ini hanya ada di dalam pelajaran fisika. Tetapi ternyata semakin lama saya hidup, saya semakin merasakan bahwa hukum ini tidak hanya di dalam ilmu fisika. Ilmu ini adalah ilmu hidup.

Semenjak kecil, secara tidak sadar, ternyata orang tua saya telah menerapkan konsep ini dalam mendidik saya. Semenjak kecil, saya tidak pernah mendapat larangan untuk melakukan apapun atau menuntut saya untuk melakukan sesuatu. Makanya saya dulu sempat merasa aneh ketika bercerita tentang acara televisi di sekolah dan teman-teman saya tidak bisa menanggapi karena jam tayang acara tersebut sama dengan jam belajar mereka atau karena mereka tidak diperbolehkan menonton televisi pada jam tersebut. Saya dulu merasa heran setiap kali ada teman yang bercerita bahwa di jam-jam tertentu mereka harus masuk ke dalam kamar untuk belajar. Ya, saya heran. Karena saya tidak pernah mengalami semua itu. Bapak dan Ibu tidak pernah melarang saya menonton televisi sampai malam, pun menyuruh saya belajar di jam-jam tertentu. Ibu hanya selalu saja menekankan pada saya bahwa saya boleh tidur malam, boleh menonton televisi, tapi ibu tidak mau menerima alasan apapun ketika esok paginya saya harus bangun pagi. Ibu tidak akan menanggapi rengekan saya yang bingung karena bangun kesiangan dan harus kena hukuman di sekolah karena terlambat. “Ya kalo tidak mau dihukum karena terlambat, ya jangan terlambat,” kata beliau.

Sama halnya tentang PR dan belajar. Ibu dan bapak tidak pernah menuntut jam berapa saya harus belajar dan belajar harus di dalam kamar, duduk di meja belajar. Tidak. Saya tidak belajar atau tidak mengerjakan PR-pun, ibu tidak pernah menegur. Ibu juga tidak pernah memarahi setiap saya mendapatkan nilai jelek atau dihukum karena tidak mengerjakan PR. Ibu hanya diam, terlebih jika saya pulang sekolah membawa keluhan bahwa saya dihukum karena lupa mengerjakan PR atau mendapat nilai jelek dalam ulangan. Ibu tidak berkomentar. Dan saya sudah cukup tahu diri untuk berhenti mengeluh karena, sama dengan kasus sebelumnya, pada akhirnya ibu hanya akan mengatakan bahwa jika saya tidak ingin kena hukuman, ya jangan melanggar hukum. Jika saya tidak ingin mendapat nilai jelek, ya berarti harus belajar. Artinya, saya tidak boleh mengeluhkan hal-hal yang menjadi akibat dari apa yang sudah saya pilih.

Ya, saya jarang dimarahi, jarang dituntut ini dan itu. Tapi, semua itu justru membuat saya paham dan tahu diri tentang apa-apa saja tugas saya dalam hidup karena saya langsung belajar merasakan akibat dari setiap sebab. Sistem itu telah mendidik saya menjadi sadar risiko. Setiap apapun yang saya lakukan, harus mempertimbangkan risiko apa yang nanti akan mengikuti dan berusaha bertanggung jawab dengan apapun hasil keputusan saya. Ya, memang untuk keputusan-keputusan besar seperti memilih jurusan kuliah atau memilih pasangan, orang tua tetap memberikan pendapat, memberikan masukan.Tetapi keputusan akhir dan setiap 'reaksi' yang mengikutinya tetap ada di tangan saya.

Makanya, saya sering geregetan setiap kali ada orang yang mengeluhkan ‘reaksi’ dari ‘aksi’ yang mereka lakukan. Sering saya dihadapkan pada mahasiswa yang tidak pernah masuk kuliah dengan alasan yang tidak masuk akal sehingga jumlah kehadirannya tidak memenuhi syarat untuk mengikuti ujian dan mereka merengek minta diikutkan ujian. Saya bukan tidak memiliki rasa kasihan. Kasihan tetap ada. Tapi saya sadar bahwa jika saya mengijinkan mereka untuk mengikuti ujian, mereka tidak akan pernah belajar. Mereka akan mengulangi lagi kesalahan yang sama karena menganggap berikutnya juga akan dikasihani lagi. Tidak. Saya tidak mau anak-anak didik saya menjadi pemalas, penuntut, tapi tidak bertanggung jawab. Terlebih lagi ketika lulus nanti mereka akan menjadi perawat, yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan, yang akan berurusan dengan nyawa orang.

Oh iya. Ngomong-ngomong tentang aksi dan reaksi, saya jadi berharap, semoga bagian hati yang saya berikan padamu akan sama besar juga dengan hatimu yang kamu berikan pada saya, ya? #eaaa… :p

 
*)Gambar didapatkan dari wealthyhealthywoman.com
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil