Prioritas



"Aaaah.. capeeeek...," keluhku sambil merentangkan tangan, memcoba mengurangi pegal setelah menulis beberapa halaman kertas folio bergaris.

"Banyak tugasnya?" tanya bunda. Di tangannya sudah ada secangkir teh hangat, lengkap dengan tatakan cangkirnya.

"Banyak, Bunda.. Setiap minggu harus bikin laporan pasien kelolaan. Harus tulis tangan. Banyak. Padahal aku praktik di enam ruangan. Bayangin dong berapa banyak yang harus aku tulis?"

"Praktikmu di rumah sakit bukannya udah sebulanan?"

"Iyaaa..."

"Bukannya laporan harusnya ditulis per minggu?"

"Iya."

"Terus kenapa baru ditulis sekarang semuanya?"

"Malees..Soalnya banyak yang harus ditulis. Jadi kemaren males mau mulainya."

"Terus, kalo kalo tunda, laporanmu bisa tiba-tiba selesai gitu?"

"Ya engga."

"Kalo kamu tunda, orang lain akan menyelesaikan laporanmu gitu?"

"Engga."

"Terus orang lain yang bakal ngerasain pegelnya nulis segitu banyak?"

"Bukan."

"Terus kalo sudah seperti ini, siapa yang salah?"

"Aku."

"Terus, kenapa sekarang ngeluh?"

"Ya habis...."

"Belajar bikin prioritas. Belajar bertanggungjawab sama hidupmu sendiri. Coba kalo pas jaga di rumah sakit itu, pas ga sibuk, kamu nyicil nulis dan bukannya selfie-selfie atau bikin video alay yang suka kamu pajang di status whatssapp sama instagrammu. Bunda rasa, ga akan secape ini kamu sekarang."

"Iya..."

"Dek, seneng-seneng boleh. Nyantai juga boleh. Asal tanggung jawabmu selesai. Bikin prioritas lah. Utamakan mana yang harus diutamakan."

"Iya.."

"Satu lagi. Jangan kebanyakan ngeluh. Mengeluh ga akan menyelesaikan masalah. Apalagi mengeluhkan akibat dari pilihan yang sudah kita ambil sendiri."

"Iya," jawabku pendek sebelum kembali mengerjakan laporan dalam diam. Tak ada lagi keluhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil