Titik

Taman Nukila, Ternate, Maluku Utara (dokumen pribadi)


"Jelek betul wajahmu kamu lipat-lipat begitu." Kamu, yang semenjak kita memulai jogging tadi hanya diam, akhirnya mengeluarkan suara.

Aku angkat bahu.

"Ada masalah?" tanyamu dengan napas terengah. Kamu memelankan ayunan kaki, mulai berjalan.

Aku ikut berhenti berlari, ikut melangkah cepat di sisimu dengan sesekali mengambil napas panjang.

"Masalah kantor lagi?" tanyamu.

"Biasalah. Habis rapat kemarin. Atasan bikin aturan aneh-aneh yang nyusahin."

"Terus kamu bilang apa waktu rapat?"

Aku menggeleng. "Mau bilang apa? Memangnya aku ini siapa?"

"Kamu lupa namamu?"

"Nggak lucu." Aku manyun. "Serius. Aku ini di kantor bukan siapa-siapa. Aku tuh cuma sebuah titik kecil, tak penting."

"Titik itu penting loh," katamu.

"Penting apa? Kecil, tak bermakna."

"Wooo.. jangan salah. Titik itu yang memulai segala hal. Sebuah garis dimulai dari sebuah titik. Kamu tahu kan apa yang bisa dibuat setelah itu? Huruf, kata, kalimat, lalu cerita yang bisa mengubah kehidupan orang menjadi lebih baik."

"Tapi titik itu juga penanda sebuah akhir. Dia yang mengakhiri kalimat. Tamat."

"Tapi kan setiap akhir dari setiap hal adalah awal untuk sesuatu yang baru."

Aku mencebikkan bibir. Kamu tertawa.

"Intinya, sebuah titik itu ada maknanya. Tak boleh merasa tak berarti. Bekerja itu kan ibadah. Jika atasanmu salah, tugasmu mengingatkan. Makanya harus berani ngomong. Biar jalannya bener, terus kamu nyaman kerja, terus bisa ikhlas. Terus, dapet deh pahala ibadahnya. Iya?"

"Ya ya ya," jawabku sekenanya, walaupun dalam hati kurasa kata-katamu ada benarnya.

Ternate, 30 Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil