Langit



Sebuah senyuman tiba-tiba mengembang di wajahmu. Aku tahu dengan pasti bahwa kau tahu. Kau tahu bahwa semenjak tadi aku memandangimu, memandangi wajahmu yang dipenuhi ketakjuban itu. 

Dengan cepat kau menoleh padaku, menatapku tepat ke kedua mataku.

"Kau lihat apa?" Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu  kau tanyakan.

"Kamu," jawabku pendek.

Jawaban yang seharusnya juga tak perlu kukatakan. Toh kita sudah sama-sama tahu. Tapi tetap saja, aku mengatakannya. Sengaja. Aku menyukai ini. Rasa ini, di dalam hatiku ini, setiap kali aku menyebutkan apa saja tentangmu.

"Kau ini benar-benar pencinta langit, ya?" tanyaku kemudian dengan kedua mata menjelajahi wajahmu.

Kau tak menjawab. Tapi dari senyuman yang melebar di wajahmu, aku tak lagi merasa memerlukan jawab. Jawaban itu ada di sana, di senyumanmu.

"Dan kau pasti akan bertanya mengapa."

Aku mengangguk pelan. Kamu berpaling dariku, kembali menengadahkan kepalamu ke atas, ke arah langit yang menyempilkan rupa di antara rerindangan pohon.

"Kau lihat itu? Awan-awan itu?" Kau menunjuk ke atas, sesaat berpaling padaku hanya untuk sekedar meyakinkan diri bahwa aku ikut memandangi arah yang kau tunjuk.

Aku mengangguk.

"Mereka selalu bergerak. Dinamis. Selalu membentuk gulungan baru, kumpulan baru, bentuk yang baru. Menyenangkan sekali memandangi mereka. Tak membosankan." Suaramu melemah di kalimat terakhir. Pandanganmu sesaat kosong, tapi lantas kau menoleh padaku dan tersenyum dengan kedua mata yang kembali dipenuhi ketakjuban. "Seharusnya hidup itu seperti itu. Iya kan, Ka?"

Tak ada jawaban. Aku justru mengernyit bingung, membuatmu tertawa.

"Aaaah, Arkaa!" katamu. "Hidup yang monoton itu membosankan, Ka. Haruskah kujelaskan itu? Membosankan dan seringnya tak produktif, tak kreatif. Begituuuuu saja. Hidup itu kan seharusnya dinamis, bergerak, biar kita bisa menghasilkan lebih banyak hal-hal baru, yang tak membosankan. Iya, kan?"

Kali ini aku mengangguk. "Hanya itu?"

"Kau tak lihat betapa menyenangkannya warna biru itu? Menenangkan. Menenangkan.... tapi di saat yang bersamaan, dia juga mengingatkan. Dia mengingatkan betapa kecil kita ini sebenarnya. Tak ada apa-apanya. Tak pantas sebenarnya kita menyombongkan diri kita, menyombongkan apa yang kita punya, yang kita bisa. Semuanya titipan saja kan? Bisa diambil oleh yang punya kapan saja."

Aku menaikkan alis. Lalu kamu tertawa.

"Aku mulai melenceng lagi ya?" tanyamu di sela tawa.

"Kau bahagia."

"Hmm?" tanyamu seraya menaikkan alis. Mungkin kau tak mengerti mengapa tiba-tiba aku mengatakan itu.

"Iya. Kau pasti bahagia ya bisa berada bersamanya? Bersama langit yang padanya kau selalu bisa jatuh cinta?"

Senyuman di wajahmu berubah. Dia tak pergi, masih ada di sana. Tapi rasanya tiba-tiba tak sama.

"Jika kukatakan iya, apakah kau juga bahagia?" tanyamu.

Sesaat aku menatap ke kedua matamu, lalu mengangguk dan memaksakan sebuah senyuman.

"Janji? Kau janji akan memilih untuk merasa bahagia jika kubilang aku bahagia kan?" tanyamu lagi. Aku mengangguk lagi, membuatmu tersenyum. "Iya, Arka. Aku bahagia."

Aku terbangun, mendapati bagian tempat tidur yang dulu biasa kau tempati, malam ini tak berpenghuni lagi. Lalu rasa kosong itu kembali, menyesaki setiap sudut hati. Ah, tak boleh seperti ini. Bukannya aku baru saja mengucapkan janji?

#Langit

Ternate, 26 September 2016


Photo credit: Wh DYoe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil