Kompak

photo credit: myphotocentral.com


"Pokoknya kita semua harus kompak!" teriak sang ketua kelas.

"Betul. Semua harus kompak. Tidak ada satu pun yang boleh mengaku bahwa kita sudah mendapatkan bocoran soal ujian!" sambut wakilnya.

Lalu kelas itu berubah riuh. Semua kepala terangguk menyetujui. Semua mulut mengeluarkan suara rendah mengiyakan. Semua, kecuali satu. Satu kepala menggeleng pelan. Satu mulut menggumamkan ketidaksepakatan.

"Sudahlah, ikut saja," bisik kawannya yang ada di kiri. "Ini demi kebaikan bersama."

Satu kepala itu tetap tergeleng pelan. Satu mulut itu masih menggumamkan penolakan.

"Apa kau tak ingin kita sekelas bisa lulus bersama?" bisik kawannya yang di sebelah kanan. "Apa tega kau tinggalkan beberapa di antara kita yang sudah seperti keluarga sendiri ini untuk lulus belakangan, untuk tak bersama-sama?"

Satu kepala masih saja menggeleng pelan. "Bukan begini caranya." Suaranya akhirnya terdengar lebih keras dari sebelumnya, bukan lagi berupa gumaman.

Kelas mendadak hening. Semua mata langsung tertuju pada satu kepala yang menentang untuk patuh. Dua kawan di kiri dan kanannya mendadak mengambil jarak lalu ikut memandanginya bersama dengan kerumunan.

"Jadi kau tak setuju?" tanya ketua kelas.

Kepala itu menggeleng lagi.

"Kau tak setuju kita saling membantu?"

"Aku tak setuju. Ini bukan membantu. Ini namanya menjerumuskan. Jika benar kau peduli pada orang-orang yang kau sebut kawan, bantu mereka dengan cara yang benar. Ajak belajar, bukannya mencuri soal ujian seperti ini. Apa gunanya nilai mereka tinggi, mereka dinyatakan lulus, tapi tak faham apa-apa, tak bisa melakukan apa-apa?"

Semua masih terdiam.

"Ayolah. Tolong-menolong itu dalam kebaikan, bukan dalam kecurangan seperti ini. Memangnya kalian pikir Alloh tak akan tahu? Alloh tak akan mencatat begitu?" lanjutnya.

Tak ada jawaban. Kelas itu hening. Namun, hanya untuk sesaat.

"Ah, pengkhianat!" seru sebuah suara dari pojok kelas.

"Tak kompak. Tak punya rasa kebersamaan!" teriak yang lainnya.

"Dikit-dikit bawa-bawa nama Tuhan. Malas aku mendengarnya!" teriak yang lain lagi.

"Sudah abaikan saja dia. Satu suara tak akan mengganggu," kata wakil ketua.

Lalu suara-suara yang lain ikut menghakimi. Lalu satu kepala yang tetap bertahan, tetap menggeleng, tak tergoyahkan itu akhirnya berbalik dan melangkah pergi, memilih meninggalkan kerumunan manusia yang lebih mirip sirkus baginya.

"Tak apa. Sendiri juga tak apa. Yang penting aku tahu Kau tak tuli, Kau tak buta. Iya kan?" gumamnya seraya melirik ke arah langit di atasnya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil