Si Muka Pucat



"Lihat, si Muka Pucat itu," katamu sambil menunjuk bulan yang menggantung di langit sore ini.

"Bulan," jawabnya. "Bukan si Muka Pucat."

"Haha.. Iyaa. Bulan. Coba kau lihat dia. Apa coba bagusnya? Tak ada cantik-cantiknya. Jika siang, dia pucat seperti ini, tak menarik hati. Sewaktu malam, dia hanya bisa memantulkan cahaya, tak bisa menghasilnya cahaya sendiri. Dan jika dilihat dari dekat, aaah.. Jelek sekali rupanya." Kamu lantas menyeruput air jahe gula merah dari dalam gelas bening. Air guraka, mereka sebut.

"Bagusnya, dia itu mengajarkan tentang kepatuhan. Dia patuh pada Tuhannya. Dengan setia dia memutar di orbitnya, karena Tuhan menyuruhnya. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh. Karena dia tahu, jika dia membantah, berhenti berputar, atau berputar tak sesuai perintah, akan ada bencana yang datang."

"Ya tapi tetap saja. Dia itu tak cantik. Tak secantik matahari yang pantulan warna cahayanya saja selalu bisa menenangkan hati," cibirmu.

Dia tersenyum, mengangkat gelas, lalu menyeruput air gurakanya sendiri. "Orang Jawa bilang, yen mung rupa sing gawe atimu tresna, banjur kepiye anggonmu tresna marang Gusti sing tanpa rupa?" Dia memberikan jeda, memegang gelas dekat dengan bibirnya. "Jika hanya rupa, hanya wajah, hanya kecantikan yang membuat hatimu jatuh cinta, lantas bagaimana kamu akan bisa jatuh cinta pada Tuhan yang tak berupa?" lanjutnya sambil melirikmu dan tersenyum sebelum kemudian kembali menyeruput air gurakanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil