Tak Apa



"Apa benar tak apa?" tanyaku.

"Iya," katanya. "Tak apa-apa."

Aku meragu.

"Hei, apa lagi yang kamu pikirkan? Ambillah. Tak apa. Sedikit saja, kok. Itu tak sebanyak yang orang-orang di atasmu terima. Jadi, tak apa."

"Dosa, ah. Bukan hak ku. Bukan punyaku."

"Yang bilang bukan dosa itu siapa? Aku kan tak bilang kalau ini bukan dosa. Aku hanya bilang, tak apa. Sedikit saja, kok."

"Dosa kok tidak apa-apa. Bohong kamu!" sergahku.

Dia berdecak. Tapi senyuman tak juga lepas dari wajahnya.

"Tuhan itu maha pengampun, kok. Dia akan mengampunimu jika kau meminta ampun padanya nanti," katanya.

Aku mematung. Dalam hati mengamini ucapannya.

"Tenang saja, besok kan masih ada waktu. Kamu masih bisa bertaubat besok," kata-katanya tak terdengar salah.

Lalu perlahan aku menggerakkan tangan, menerima amplop berwarna cokelat yang disodorkan padaku lewat bawah meja.

"Nah. Begitu. Anak istrimu pasti akan membutuhkan uang itu. Sudah, ambil saja," katanya. "Kau akan bisa membelikan perhiasan untuk istrimu. Lalu juga ponsel mahal yang diidam-idamkan anakmu."

Aku tersenyum dan mengangguk, membayangkan betapa bahagianya anak dan istriku nanti saat aku pulang membawa oleh-oleh yang mereka sukai.

Dia benar. Tak apa. Kan hanya sekali ini saja kuterima uang sogokan. Tak seberapa. Tak apa. Besok aku masih bisa bertaubat, kok. Tuhan kan maha pengampun. Tak apa. Besok masih akan ada.

Lalu dia yang semenjak tadi berbisik padaku itu tiba-tiba hilang setelah aku mendengar tawa bahagianya yang seolah meneriakkan bahwa dia telah menang.

Ternate, 24 Januari 2018
@30haribercerita
#30hbc1824hoaks
photo source: pixabay.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil