Bapak



"Langitnya biru sekali, ya?"

Aku menoleh. Bapak berdiri di sisiku, ikut memandangi warna biru yang sudah mencuri perhatianku semenjak tadi. Tadi. Perhatianku kini tercurah pada lelaki yang berdiri di sisiku.

Dua puluh dua tahun. Jumlah yang bisa kuhitung sejak terakhir kalinya aku melihat wajah bapak. Tapi beliau tak berubah. Hanya tubuhnya saja yang sekarang terlihat begitu kurus.

Tubuhku beku, tak bergerak sedikit pun. Padahal mauku, aku menghambur ke dalam pelukannya lalu mengeratkan pelukan di tubuhnya. Sekedar melepaskan rindu. Tapi tidak. Aku tak bergerak.

"Nduk," panggilnya.

Aku masih membeku, hanya diam menatapnya.

"Kamu sayang sama bapakmu ini?" tanyanya.

Aku mengangguk. Setelah sekian lama, setelah ribuan kata yang kutuliskan betapa aku menyayanginya, aku merasa heran bapak masih perlu bertanya.

"Benar kamu sayang bapakmu ini, Nduk?"

"Aku mengangguk pelan."

"Jika benar kamu sayang bapak, kirim doamu ya, Nduk. Sebut bapakmu ini di doamu. Perbaiki sholatmu, jangan pernah kamu tinggal. Jangan kamu lalai. Tutup dengan baik auratmu ya, Nduk?" katanya dengan pipi yang mulai dialiri air mata.

Aku mengangguk. Kata-kataku sudah ditenggelamkan oleh lelehan air mataku sendiri.

"Bapak ndak butuh apa-apa selain itu. Bapak ndak butuh status-statusmu di dunia maya itu. Itu ndak ada gunanya buat bapak. Bapak butuh doamu. Bapak butuh kamu menjaga dirimu."

Lagi-lagi, aku hanya menganggukkan kepala, tak mengatakan apa-apa. Dan pandanganku masih saja dikaburkan oleh air mata.

"Jaga diri ya, Nduk. Jaga dirimu dari api neraka. Ya?"

Aku membuka mata. Yang kutahu, bantal di bawah kepalaku sudah basah oleh air mata.

Ternate, 17 Januari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil