Tak Akan Lupa


"Kau datang," sambutku. "Kupikir kau belum akan bangun."

"Aku memang berharap begitu. Tapi, demi sebuah janji.." Dia mengangkat bahu lalu ikut duduk di atas semen bersamaku.

Kedua kaki kami sama-sama menggantung di atas air laut yang begitu jernih pagi ini.

"Jadi, yakin kau akan pergi?" tanyanya. Kedua matanya memandangi bentangan langit yang bertautan dengan lautan di depan kami.

"Iya. Harus." Jawabku pelan. Hampir seperti bergumam.

"Yakin kau akan bisa meninggalkan kota di mana kau bisa melihat langit bercinta dengan lautan setiap hari? Di mana kau bisa setiap saat bergumul denga beningnya air laut ini? Di mana kau bisa setiap pagi menyambut matahari dengan leluasa, lalu mengantarkannya pulang setiap senja?"

Aku menghela napas lalu menoleh padanya.

"Yakin kau akan bisa meninggalkan kita?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum, memandangi kedua mata sahabatku yang mulai berkaca-kaca itu.

"Aku yakin aku akan pergi. Karena aku harus. Ada hal-hal yang memang harus kulakukan. Ada saat di mana aku harus mengucapkan perpisahan," kataku.

Dia masih juga tak mau memandangku.

"Tapi aku yakin, aku tak akan bisa melupakan kota yang memberiku semua hal yang begitu kucintai: lautan, langit, senja.." Aku memberikan jeda. "Kamu."

Dia menoleh. Kedua matanya masih berkaca-kaca. Lalu sebuah senyuman merekah di wajahnya.

"Yakin kau tak akan lupa?" tanyanya. "Padaku?"

"Tentu saja. Bagaimana aku akan bisa lupa pada manusia yang tak lelah berusaha mengajakku ke surga? Yang menasihati tanpa lelah, tak peduli walaupun aku marah?"

Dia tersenyum lalu dengan cepat menghambur ke pelukanku.

"Aku tak akan lupa. Tapi kau harus janji, jangan lelah mengajakku ke surga. Iya?"

"Iya," jawabnya seraya menganggukkan kepala.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil