Matahari

Photo credit IG: @yo___e


"Sudah gelap?" tanyamu.

"Hampir."

"Warna apa yang kau lihat?"

"Sedikit biru di bagian atas, semakin ke bawah semakin memudar, lalu berubah oranye, dan semakin gelap saat mendekati lautan." Aku memberikan penjelasan sedetail mungkin yang aku bisa, seperti biasa.

"Kau suka."

Bukan pertanyaan. Sebuah tebakan pasti. Pernyataan. Dan kamu benar. Aku memang menyukai warna oranye yang mulai diselimuti gelap itu. Menenangkan.

"Kau masih bisa melihatnya? Matahari?" tanyamu lagi.

"Ya. Dia sudah mulai turun, hampir hilang ditenggelamkan lautan. Coba lihat dia. Matahari yang sehebat itu saja tak angkuh, masih mau bersujud pada Tuhan yang memilikinya di setiap pagi dan petang. Sedangkan kita? Manusia?"

Ada senyuman di wajahmu ketika aku menoleh.

"Ah, aku mulai melantur lagi," kataku.

"Iya," katamu. "Tapi aku suka."

"Apa sih, Ja? Gombal banget. Ayo pulang. Matahari sudah pulang. Sudah gelap."

"Memangnya kenapa jika gelap? Tenang saja. Aku sudah mengenalnya lebih dari separuh hidupku." Kamu menoleh padaku dan tersenyum.

Wajah kita beradu. Lalu, jantungku kembali berulah. Sama seperti setiap kali wajahmu begitu dekat denganku seperti ini. Jadi, yang kulakukan adalah menarik paksa sebelah tanganmu, menempatkannya di atas siku kananku. Kamu sedikit terkejut sewaktu aku melakukan itu, tapi lantas tertawa dan menurut saja sewaktu aku mulai menuntunmu seperti biasa.

"Pulang.." Kamu bergumam sewaktu kita berjalan.

"Apa lagi?"

"Matahari mengajarkan pada kita bahwa sehebat apa pun kita sebagai makhluk-Nya, suatu saat waktu kita akan habis dan kita harus pulang."

Aku menoleh padamu. Mendadak dadaku kosong sewaktu kamu mengatakan itu. Tahu bahwa pada akhirnya kita juga akan kehabisan waktu. Tahu bahwa itu bisa terjadi sewaktu-waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil