Halal

Land Mark Ternate, Maluku Utara


"Dulu kayaknya udah cukup ya kalo kita pesan sama anak-anak kita buat cari pekerjaan yang halal," katamu tiba-tiba begitu kita turun dari angkot.

"Eh, kenapa ini kok tiba-tiba bahas halal-halalan?" tanyaku bingung.

Kamu meringis. "Ya nggak papa. Liat sopir angkot tadi tetiba jadi kepikiran aja. Soalnya kan banyak orang yang malu jadi sopir angkot, apalagi yang sekolahnya tinggi. Terus keinget aja dulu orang tua suka bilang gini, 'Jangan malu kerja apa saja, yang penting halal'," katamu.

Aku mengangguk-angguk.

"Pesen itu kalo buat zaman sekarang masih kurang pas, menurutku," katamu.

"Kurang pas gimana?"

"Ya kurang pas aja. Soalnya sekarang banyak yang pekerjaannya sebenarnya halal, tapi pendapatannya engga."

"Misalnya?"

"Dagang. Berdagang barang yang halal itu kan sebenarnya halal kan, ya? Tapi ketika kita sudah mengakali timbangan atau berbuat curang, kan pendapatannya jadi nggak halal lagi."

Aku kembali mengangguk-anggukkan kepalaku.

"Misalnya lagi nih, guru. Pekerjaannya halal kan? Tapi kalo udah mulai pungli, atau korupsi duit BOS, kan jadi haram gitu pendapatannya."

"Iya juga, sih," kataku.

"Terus ada lagi. Misalnya PNS, nih. Halal kan kerjaannya? Dia digaji tiap bulan, tapi cuman dateng finger print, terus ngilang nggak jelas kerjaannya, nggak ada hasil kinerjanya. Atau dia ada di kantor tapi cuman main ponsel, telponan, ngobrol haha hihi ke sana kemari, yutube-an, main sosmed, donlot film di jam kerja. Menurutmu, halal nggak tuh gajinya?"

Kali ini aku diam, tak berani lagi berkomentar. Menyebalkan. Mengapa justru jadi aku yang kena?

@30haribercerita #30hbc1829

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil