Tentang Nasihat dan Semangkuk Wedang Ronde



"Mau ngapain di sini?" tanyaku sewaktu kamu menghentikan motor di depan pendopo.

"Sudah, ikut saja," katamu sambil mendahuluiku memesan dua mangkuk wedang ronde lalu mengambil tempat duduk di belakang orang-orang yang sedang menikmati keroncong.

Aku menurut, ikut duduk di sampingmu lalu mulai menikmati wedang ronde yang disuguhkan padaku.

"Mukamu suntuk sekali seharian ini. Kenapa?" tanyamu.

Kamu. Seharusnya aku tahu kamu akan menanyakan itu sewaktu kita berhenti di dekat gerobak penjual ronde tadi. Kamu kan selalu seperti ini.

"Biasalah, Mas. Mahasiswa. Mulai kurang ajar mereka. Tak tahu sopan santun," keluhanku mulai keluar sedikit.

"Kenapa lagi memangnya?"

"Itu, masalah praktik klinik. Dari awal sudah diberitahu kapan harus responsi. Tapi waktunya responsi, mereka tak datang. Lalu setelah batas waktunya habis, mereka datang dan maksa-maksa minta diresponsi. Waktu aku bilang aku tak bisa, mereka maksa yang alesannya macam-macam lah."

Kamu masih diam mendengarkan.

"Sudah begitu, masuk ruangan tak ada salam. Tak tanya dulu aku sedang ada kerjaan lain atau tidak. Tiba-tiba masuk langsung bilang, 'Bu, saya mau responsi'. Memangnya kerjaanku cuma ngurusin responsi mereka?"

Kamu tersenyum. "Kamu bisa kok mengajari mereka bagaimana bersikap sopan," katamu.

"Hih, malas. Orang udah gede kok. Masa masih harus diajari lagi? Harusnya kan mereka sudah tau," sungutku.

"Ya kenyataannya kan mereka belum tahu. Dan itu tugasmu untuk membuat mereka tahu."

"Mana bisa?"

"Bukannya kamu bekerja sebagai pendidik? Pendidik, bukan hanya pengajar. Kamu bekerja di institusi pendidikan. Berarti tugasmu untuk mendidik."

Aku diam. Pura-pura tak mendengar.

"Jika kamu tahu mereka salah dan kamu tahu apa yang benar, ya benarkan. Nasihati. Jika hanya kamu bicarakan di belakang seperti ini, memangnya mereka akan bisa berubah sendiri?"

Masih. Aku berpura-pura tak mendengarnya.

"Ayolah. Kamu pasti bisa, kok. Dicoba. Ya?"

Aku melirikmu. Lalu ikut tersenyum sewaktu melihat senyum menenangkanmu. Dan seperti selalu, akhirnya kuanggukkan kepalaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil