Bergerak



"Ke sana, yuk!" ajakmu seraya menunjuk ke ujung dermaga.

"Nggak, ah. Males. Panas."

"Nggak panas-panas banget, kok. Ayolah."

"Mau ngapain emangnya?"

"Lihat pemandangan."

"Dari sini juga bisa."

"Ya kan beda. Di sana lebih bagus."

"Gimana tahu lebih bagus kalo ke sana aja belum pernah?"

"Makanya ini mau ke sana."

"Kalo ternyata sama aja, gimana?"

Kamu mengangkat bahu. "Ya pokoknya ke sana aja dulu, lah."

Aku menatapmu tak percaya. Tak percaya dengan betapa bodohnya pola pikirmu itu. Maunya ke sana, panas-panasan, hanya untuk sesuatu yang belum pasti ada.

"Ayolaah. Kalo memang di sana tak bagus, aku yang bakal bikin bagus buat kamu."

 Aku menurut, menjajari langkahmu di atas dermaga kayu. Kita menghentikan langkah di ujung dermaga. Air berwarna toska yang ada di bawah kita begitu bening dan memantulkan dasar laut beserta ikan-ikan warna-warni. Lalu batas laut yang bersambungan langsung dengan langit di hadapan kita.. Semuanya begitu luar biasa.

"Harus begini," katamu. "Hidup itu harus berani bergerak, mengambil langkah, berani keluar dari zona nyaman."

Aku masih merasa takjub oleh hijau-birunya air laut di bawah kita.

"Berada di zona nyaman terus-menerus akan membuat kita tumpul. Otak kita hanya akan mengikuti rutinitas, tak ada tantangan. Hati kita akan mulai kehilangan kemampuannya merasa, tak menyenangkan. Lalu, lama-lama kita akan bosan."

"Lalu kita akan banyak mengeluh dan lupa bersyukur," sambungku. "Begitu kan yang mau kamu katakan? Makasih, loh!" seruku. Sarkastik.

Kamu tersenyum geli. "Langitnya bagus, ya?" tanyamu seraya melemparkan pandangan ke sana.

Ternate, 28 Januari 2018
@30haribercerita #30hbc1828bergerak #30hbc1828

photo credit: fb Enggar Ardianti Tagap

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil