Disiplin Dalam Secangkir Kopi

Photo source: pinterest


"Duduk dulu," kataku begitu kamu menghentikan langkah di depan meja pemesanan. Wajahmu dipenuhi rasa kesal.

Kamu menghela napas.

"Latte?" Aku menyunggingkan senyuman. Sudah hafal dengan pesananmu yang tak pernah berubah itu.

Kamu mengangguk tanpa senyuman lalu melangkah ke meja kecil di pojok warung kopiku.

Secangkir latte. Orang bilang, para peminum latte adalah manusia-manusia santai, yang tak suka diburu-buru. Mereka biasanya orang yang baik dan pecinta damai. Tapi ya itu, mereka terlalu santai dan suka mengulur waktu. Ah, entahlah. Itu kan kata orang saja.

Aku meletakkan cangkir latte-mu ke atas baki lalu membawanya ke meja di hadapanmu.

"Kenapa?" tanyaku. Aku tak pernah merasa sungkan menanyakan hal itu padamu. Aku sudah mengenalmu hampir di seluruh hidupku. Kita menghabiskan masa kecil bersama. Tak hanya masa itu, tapi juga masa-masa setelahnya hingga sekarang.

"Biasalah. Mahasiswa," jawabmu sebelum menyesap isi cangkir.

Aku meletakkan baki ke atas meja lalu duduk di hadapanmu. Malam ini sudah tak ada pelanggan lagi. Tanda di pintu masuk sudah kubalik, menunjukkan tempat ini sudah tutup. Tapi memang untukmu aku akan selalu menyediakan waktu.

"Kenapa dengan mahasiswamu?"

"Kesal aku sama mereka. Sama sekali tak disiplin. Kau tahu kan hari ini ada kuliah pakar di tempatku mengajar?"

Aku mengangguk. Ya, kamu sudah bercerita kemarin.

"Kemarin itu padahal aku sudah sampaikan ke mereka kalo hari ini kuliah pakar jam sembilan. Tak boleh ada yang terlambat. Mereka bilang iya, tak akan terlambat. Dan kau tahu apa yang terjadi tadi?"

"Mereka terlambat?" tanyaku dengan nada tak pasti, tak ingin terdengar menghakimi.

"Tepat. Jam sembilan itu baru ada separuh yang datang. Iya sih kalo terlambat masih bisa ikut. Tapi kan jadi mengganggu jalannya kegiatan. Yang lain jadi tak bisa konsentrasi. Tak enak juga aku sama dosen pakarnya. Beliau beberapa kali harus berhenti menjelaskan karena ada mahasiswaku yang baru datang lalu masuk."

Aku menganggukkan kepalaku pelan, menunjukkan aku paham.

"Habis juga pulsaku untuk menelponi mereka satu satu supaya cepat datang. Mana beda operator. Hah, tak tahulah mau bagaimana lagi membuat mereka disiplin."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kamu memandangku lalu menunjukkan wajah tak suka.

"Aku tak suka wajahmu itu," katamu.

"Wajah apa?"

"Wajah yang bilang kalo masalah ini sebenarnya tak lepas dari kesalahanku juga. Iya, kan kau akan mengatakan itu?"

Aku tersenyum. "Tidak kok. Tidak juga," kataku sambil mengulum senyuman.

"Sudah. Bilang saja. Tak apa."

"Benar tak apa?"

"Iyaaaa.. Lagipula kubilang tak boleh pun kau pasti akan bilang. Iya kan?"

"You know me so well."

"Apa?" tanyamu.

"Disiplin itu bukan kopi instan. Kapanpun kamu mau, kamu tinggal buka lalu seduh dan bisa kau minum kapan saja. Disiplin itu perlu proses, waktu, ketekunan."

Kamu memandangku, menungguku menyelesaikan kuliahku. Yah, paling tidak begitu caramu menyebutnya setiap kali aku mulai berbicara banyak.

"Kalo saja sejak semester awal dulu kamu tanamkan itu nilai disiplin pada mereka, kamu terapkan sistem pendidikan yang disiplin pada mereka, kamu berikan contoh nyata tentang kedisiplinan pada mereka, kurasa tak akan habis pulsamu hari ini. Tak akan bingung lagi di mana kamu harus menaruh muka di hadapan tamu, para dosen pakar itu."

Aku bisa mendengarkan helaan napasmu.

"Sedangkan kamu sendiri saja tak mencontohkan disiplin. Berapa kali coba aku harus mengingatkanmu untuk segera berangkat ke kampus karena jam mengajarmu sudah dekat, tapi kamu tak bergerak dari depan laptopmu? Katamu, kamu terlambat pun mahasiswa akan tetap menunggu."

Kamu menghela napas lagi.

"Padahal kamu tak ada kesibukan apa-apa. Sudah begitu kamu biarkan juga mahasiswamu yang terlambat untuk tetap ikut kuliah tanpa ada sanksi sedikit pun. Maksudku, ayolaaah.. Benar memang kamu baik hati. Benar kasihan. Tapi kan dengan begitu artinya kamu tak menghargai mereka yang sudah datang tepat waktu. Tak ada bedanya mau terlambat atau tidak. Tak ada penghargaan untuk usaha mereka yang tak terlambat. Jadi, sebagai manusia normal, tentunya mereka akan memilih jalan yang lebih enak. Terlambat tak apa kok, buat apa susah-susah berusaha datang tepat waktu?"

Kamu menarik cangkir latte-mu lalu menandaskan isinya.

"Iyaaa.. Baiklah. Salahku memang," katamu seraya meletakkan cangkir. Ada sedikit dorongan kesal yang bisa kuendus di setiap gerakanmu.

Aku tersenyum geli memandangmu. Tak apalah kamu kesal sekarang. Yang penting, aku sudah tahu kamu akan berubah sedikit demi sedikit nanti, seperti biasa setiap kali kamu sudah mendengar 'kuliah'-ku.

"Latte?" tanyaku seraya melirik cangkir kosongmu.

Kamu menggeleng. "Kenyang aku dengan kuliahmu."

Lalu aku tergelak.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil