Debat

Photo source: nasihatsahabat.com


"Mampus!" Wanita itu meletakkan ponselnya ke atas meja, sedikit mendorongnya. Wajahnya dihiasi kepuasan luar biasa.

"Kenapa?" tanya temannya. Dia menaikkan pandangan, meninggalkan layar ponsel yang tadi dipandanginya.

"Itu tuh.. Si itu. Tahu, kan?" Dia menunjukkan wajah tahu sama tahu.

"Ooh.. Kenapa lagi dia?"

"Tak berani dia mendebatku ternyata. Sok menasehati soal agama. Kayak udah yang paling suci aja. Sok dekat dengan Tuhan."

"Kenapa memangnya?"

"Biasa tuh. Anak itu tuh. Komen di statusku. Sok ngajari gimana harus pake baju yang bener, yang syar'i. Jadi kuajak debat dia. Eeeh nggak komen-komen lagi dia. Penakut. Ternyata tak berani mendebatku."

"Hati-hati."

"Hati-hati?"

Temannya mengangguk. "Semakin berisi, padi akan semakin menunduk, katanya. Sama dengan manusia. Semakin banyak ilmunya, biasanya justru semakin rendah hati, semakin tak ingin berdebat."

"Jadi maksudmu aku yang salah? Aku yang lebih bodoh? Begitu? Kau lupa? Aku ini lulusan S3. Lulusan luar negeri. Aku ini lulusan terbaik. Dan menurutmu dia yang cuman lulusan D3 itu lebih pintar dariku? Begitu?"

Temannya tersenyum. "Aku tidak mengatakan kau bodoh. Bukan. Aku hanya mengingatkan saja bahwa belum tentu dia tak menjawab karena dia lebih bodoh. Bisa jadi dia diam karena dia lebih memahami ilmunya." Temannya itu tersenyum lagi. "Mungkin dia hanya sedang mengejar surga."

"Surga?"

"Aku menjaminkan sebuah rumah di pinggir surga bagi yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar."

Wanita itu terdiam. Mungkin kata-kata itu mulai meresapi sel-sel otaknya. Sama denganku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil